Tepat jam dua siang aku berangkat dari kampusku menuju sebuah sekolah rakyat. Selama duduk di atas sebuah kendaraan roda dua di boncengan seorang teman yang terpikir di benakku masih sama dengan hari-hari sebelumnya yaitu bertanya-tanya kira-kira seperti apa keadaan tempat yang akan ku tuju. Kebetulan kampusku sedang menjalankan program pengabdian masyarakat berupa aksi mengajar di sebuah sekolah rakyat yang tak begitu jauh lokasinya dari kampusku, namun berada di pelosok kota dan aku turut berpartisipasi menjadi salah seorang volunteer di dalamnya. Beberapa menit kemudian setelah melewati beberapa jalan potong, kami pun tiba. Aku masuk dan terdiam, sedikit heran dan kemudian berkata dalam hati: "Wah, ternyata di kota sebesar ini yang katanya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia masih ada tempat kecil dengan keadaan memprihatinkan tempat anak-anak kampung belajar di sore hari." Menurutku sekolah rakyat tersebut lebih tepat dinamakan rumah singgah. Rumah itu kecil, catnya pun memudar, terdapat tiga buah ruangan belajar berukuran sekitar 2x4 meter, kursi dan meja yang mereka pakai pun berukuran sangat mini (bayangkan anak SMP harus belajar menggunakan kursi dan meja yang seharusnya di pakai oleh anak berumur 4-6 tahun), mereka menggunakan fasilitas seadanya, terdapat beberapa orang tenaga pengajar disana. Aku tidak tahu banyak tentang keempat tenaga pengajar ini tapi mungkin mereka juga tenaga pengajar yang sukarela mengajar di tempat itu.
Dengan segera aku pun melaksanakan tugasku, mengajak adik-adik yang sedang bermain disana untuk belajar bahasa Inggris pada siang itu. Kebetulan saat itu aku mengajar pelajar SMP sekitar 10 orang banyaknya. Sengaja aku tak langsung masuk ke materi pelajaran, terlebih dahulu aku menanyakan kondisi mereka, perasaan mereka, prestasi mereka dan ternyata beberapa diantara mereka termasuk dalam 10 besar di kelasnya. Wah, hebat bukan? Kondisi perekonomian keluarga bukan menjadi penghalang semangat belajar mereka. Tak lupa aku juga bertanya tentang seberapa besar kesukaan mereka terhadap bahasa Inggris. Ternyata, sebagian besar dari mereka kesulitan untuk belajar bahasa Inggris. Mereka beralasan bahasa Inggris itu sulit dan susah untuk dipelajari. Aku tersenyum dan mencoba memberikan mereka pandangan positif tentang bahasa Inggris, memotivasi mereka agar mereka memiliki kecintaan terhadap bahasa Inggris.
Pelajaran pun dimulai, aku mulai mengajar dan jujur aku sangat menikmati pekerjaanku saat itu. Ditambah lagi mendapat respon yang positif dari adik-adik itu. Mereka belajar dengan semangat, awalnya ku akui sebagian besar dari mereka memang sulit menerimanya. Pun demikian mereka tetap berusaha mengikutinya, mereka tampak serius, pertanyaan demi pertanyaan pun dilontarkan. Perlahan-lahan aku mengajari mereka dan menanyakan bagian yang belum mereka mengerti bahkan aku mengulangi materi pelajaran tersebut sampai mereka benar-benar paham tentang materi pelajaran saat itu. Yang pasti terjadi interaksi yang aktif selama kami berada di ruangan sederhana tersebut.
Waktu terasa begitu singkat, tak terasa aku harus segera mengakhiri aksi mengajar sore itu. Jujur, aku ingin lebih lama lagi belajar bersama mereka namun aku juga harus mengikuti petunjuk teknis yang telah ditentukan. Ternyata, setelah pelajaran selesai mereka akan mengikuti lomba memasak yang diadakan oleh rumah singgah tersebut sekali dalam setahun. Hebat, ternyata bukan pengetahuan saja yang dilatih ditempat itu bahkan keterampilan pun turut serta diajarkan.
Aku belum berniat untuk pulang, aku memutuskan berada ditempat itu selama beberapa saat ke depan. Aku memerhatikan mereka selama mengikuti lomba memasak sekaligus menyemangati mereka. Begitu antusiasnya mereka, berbagai jenis masakan mereka demokan pada saat itu. Sejenak ku melihat sekumpulan anak-anak di sebelah ruangan tempat lomba itu berlangsung. Aku pun menghampiri mereka dan ternyata setelah berkenalan, mereka merupakan pelajar-pelajar SD yang duduk di bangku kelas 2-6 SD. Begitu lucunya mereka bahkan ada diantara mereka yang masih tampak lelah dan berkeringat setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dari tempat tinggalnya.
Masih sama seperti yang ku tanyakan dengan pelajar SMP sebelumnya. Aku menanyakan kondisi mereka,perasaan mereka, dan lain sebagainya. Anak-anak di tempat itu ternyata memang rajin datang untuk belajar bersama disana. Bahkan setelah ku berbincang-bincang dengan beberapa diantara mereka, beberapa anak SD yang masih duduk di bangku kelas 2-3 pun datang jauh-jauh dari tempat tinggalnya tanpa diantar oleh orang tuanya. Itu menandakan bahwa keamauan mereka untuk belajar memang tinggi, mereka memanfaatkan kesempatan untuk bisa mengulang pelajaran mereka di sekolah di rumah singgah tersebut sekalipun jauh. Ya, mungkin mereka berpikir bahwa kalau memang orang tuaku tidak mampu membiayaiku untuk mengikuti kursus yang biayanya sangat mahal, di tempat ini pun aku masih bisa belajar.
Pada akhirnya, hidup memang perjuangan bahkan banyak orang mengatakan dunia ini memang keras. Setiap hal yang tidak kita sukai memang sering terjadi dalam hidup kita bahkan mungkin banyak diantara kita yang sering mengalami berbagai pergumulan. Semua ini memang tidak semudah membalikkan telapak tangan namun yakinlah bahwa roda itu berputar. Masih banyak hal yang mampu membuat kita tersenyum. Ketika kita masih menaruh harapan padaNya, yang terbaik pasti akan Dia berikan. Lagi pula Dia pasti tak akan membiarkan pencobaan yang kita alami melampaui kekuatan kita. Banyak hal yang bisa membuatku tersenyum saat itu bahkan mereka semakin menginspirasiku untuk bisa lebih bersyukur lagi dalam hidup ini dan senyuman dari anak-anak itupun menghantarkan kepulanganku sore itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI