Hingga pagi ini, masih ada yang bertanya tentang film Surga yang Tak Dirindukan yang pernah saya tonton. Mereka sangat penasaran dengan bobot cerita film yang diangkat berdasarkan novel karya Asma Nadia ini. Dan pagi ini pula, masuk broadcast kritikan cinta untuk perlawan poligami Asma Nadia.
Secara pribadi saya menghargai ini sebagai karya novel yang difilmkan. Kekuatan karakter pemeran filmnya juga cukup baik. Apalagi, latar tempatnya daerah Jawa yang mungkin tak terlalu sering diangkat dalam berita. Tentunya hal ini akan memberikan satu dari sekian pengetahuan tentang daerah di Indonesia, jika penontonnya belum tahu daerah tersebut.
Selama ini, surga identik dengan kesenangan, kebahagiaan, atau kenikmatan. Semua orang tentu menginginkan surga. Baik itu surga dunia ketika masih di alam fana ini, atau surga jannah ketika kelak berada di alam akhirat.
Lantas, adakah surga yang tak dirindukan? Setidaknya, begitulah yang ingin digambarkan film ini, kita harus ikhlas setiap menerima setiap ketetapanNya.
Pada awalnya kisah perkenalan dan pernikahan yang dijalani Arini (Laudya Chintya Bella) dan Pras (Fedi Nuril) berjalan begitu manis.
Arini seakan hidup dalam dongeng madaniyah yang disusunnya dengan begitu indah. Dan seterusnya, Arini berharap kehidupannya bersama suami dan putrinya akan seindah dunia dongeng yang bisa diaturnya. Nyatanya, cerita dalam kehidupan memang sering jauh dari keinginan. Banyak halang rintang yang harus bisa dilalui jika ingin terus melanjutkan kisah dalam kehidupan.
Satu tragedi yang menimpa Pras, merembet pada berbagai hal tanpa terduga. Pras terpaksa berpoligami serta menyembunyikan hal ini dari istrinya. Namun, serapat-rapatnya seseorang menyimpan rahasia, orang terdekat pasti akan tahu juga. Hingga masalah demi masalah timbul ketika Arini tahu suaminya telah berpoligami.
Di bagian tengah cerita film, begitu jelas tergambar bagaimana Arini merasa tersakiti. Mungkin, inilah gambaran sesungguhnya. Poligami bagi sebagian wanita menjadi kesengsaraan teramat menyakitkan. Itulah pesan cerita yang tersirat begitu saya menyaksikan film ini di pertengahan.
Saya jadi teringat buku yang ditulis Teh Ninih, istri ustadz kondang yang dulu sangat terkenal akan kehebohan suaminya berpoligami, hingga terdengar begitu santer banyak konflik di kalangan penggemarnya sebagai daiyah dan juga suaminya sebagai dai.
Dalam bukunya yang berjudul Suara Hati Teh Ninih 250 Penguat Iman, Penghangat Jiwa, terbitan PT. Gramedia Pustaka Utama, tahun 2015, tertulis begitu singkat namun memiliki makna dalam sebagai ungkapan hati seorang perempuan.
Poligami adalah jalan agar seseorang mampu ikhlas mencintai. Mencintai Allah dan amal saleh. Tidak menggantungkan diri terhadap pasangan. (hal. 219)