Mohon tunggu...
Susan Natassya
Susan Natassya Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gorga, Ukiran Batak Toba Kaya Pesona

7 Juni 2013   10:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:24 2177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13705725191439676369

[caption id="attachment_247471" align="aligncenter" width="432" caption="Richard Berry dengan Moro-Moro Toba"][/caption]

Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang multikultural. Beragam suku, ras, agama, budaya, dialek dan bahasa dapat dijumpai dengan mengunjungi beberapa daerah. Daerah yang satu dan lainnya memiliki ciri dan keunikan tersendiri. Bahkan dalam suatu daerah terdapat bauran beberapa suku bangsa. Salah satunya adalah kota Medan, ibukota Sumatera Utara, yang terkenal dengan sebutan ‘Melting Pot’. Etnis Melayu, Karo, Batak Toba, Aceh, Padang, Jawa, Nias, Tamil, Tiong Hoa berbaur menjadi satu dan saling hidup berdampingan.

Tidak heran, Medan menjadi daerah destinasi wisata budaya wisatawan khususnya para wisatawan dari manca negara. Tempat apa yang hendak dikunjungi oleh turis-turis asing tersebut? Tidak salah lagi, Danau Toba, salah satu ikon pariwisata Indonesia yang tidak akan pernah dilewatkan siapapun saat berkunjung ke Sumatera Utara. Telah menjadi tradisi bagi turis manca negara khususnya yang berasal dari Eropa memilih berkunjung ke Medan dibanding daerah-daerah lain di Indonesia.

Ornamen-ornamen khas Batak Toba menjadi daya pikat yang mencuri perhatian. Berbagai cendera mata seperti kaos, gelang, kalung atau kerajinan tangan dengan mudah ditemui. Salah satu cendera mata yang paling populer adalah baju. Perkembangan zaman saat ini memosisikan baju sebagai salah satu media yang mengkomunikasikan pesan tertentu, menjadi cenderamata yang populer. Beberapa kota di Indonesia telah berhasil mengusung produksi clothing dalam bentuk kaos sebagai cendera mata alternatif khas daerah. Misalnya saja “Dagadu” yang telah menjadi icon kota Yogyakarta dan “Joger” yang identik dengan Bali.

Bagaimana dengan Medan? Bermula dari kecintaan pada nilai-nilai artistik kebudayaan Batak Toba, Richard Berry Ginting merasa keunikan ukiran “Gorga” memiliki peluang besar menjadi cendera mata khas Medan. Pemuda kelahiran Tanah Karo ini bersama dua orang rekannya, Wilma Prima dan Rini Sialagan, bekerja sama menuangkan kreativitas bertemakan ukiran “Gorga” dalam desain clothing “Moro-Moro Toba” dengan nuansa bohemian, ethnic dan backpacker.

“Moro-Moro Toba” merupakan salah satu brand yang berupaya menjadi cendera mata yang ‘iconic’ bercirikan salah satu ukiran khas Batak Toba dengan menekankan pada aspek visual. Nama “Moro-Moro” berasal dari bahasa Finlandia yang berarti sapaan seperti “hai”, “halo” atau “Horas” dalam bahasa Batak. Richard menjelaskan, nama “Moro-Moro” diambil dari bahasa Finlandia. Sejak tahun 1980 sampai saat ini, di Finlandia, terdapat sebuah tayangan televisi yang khusus membahas tentang Samosir, salah satu pulau yang memiliki daya tarik di Danau Toba. Dari hasil riset yang mereka lakukan, 60% pengunjung Danau Toba adalah wisatawan dari Finlandia.

Dunia clothing menjadi salah satu perwujudan kreativitas mereka mengenalkan ukiran khas Batak sebagai cendera mata ikonik kota Medan, yakni "Batik Gorga". "Gorga" adalah kesenian ukir ataupun pahat yang biasanya terdapat pada bagian luar (eksterior) rumah adat Batak Toban dan alat kesenian (gendang, serunai, kecapi), dan lain sebagainya. "Gorga" dapat disebut sebagai corak atau motif yang tidak hanya dipahat atau diukir tapi juga dilukis. Pada umumnya, "Gorga Batak" hanya menggunakan cat tiga warna yakni merah, hitam dan putih, ketiga warna ini desebut "tiga bolit".

Ukiran "Gorga" memiliki keunikan dan karakter tersendiri yang membawa cerita disetiap bentuk, gambar dan penggunaan tiga warna utama, hitam, merah dan putih yang memiliki filosofi. Dilihat dari ornamen dan gambar-gambarnya, "Gorga" mempunyai nama-namanya tersendiri. Misalnya, ""Gorga Singa-Singa" yang berbentuk Raja Hutan menunjukkan orang yang kuat, jago, kokoh, mampu dan berwibawa. "Gorga Simataniari" (Matahari) yang menggambarkan matahari. "Gorga" ini dibuat oleh tukang ukir atau dalam bahasa Batak disebut "Pande" mengingat jasa matahari yang menerangi dunia ini, karena matahari adalah salah satu sumber kehidupan, tanpa matahari takkan ada yang dapat hidup.

Sungguh menakjubkan, kekayaan pesona dan makna budaya tidak akan pernah lekang oleh waktu, jika semua masyarakat menjaga dan melestarikannya. Inilah salah satu wujud pelestarian budaya yang dilakukan oleh salah satu anak bangsa melalui "Moro-Moro Toba". Rasa "sense of belonging" harus tertanam dalam benak dan relung hati masing-masing individu. Untuk itu, sebagai generasi bangsa, kita harus mencintai budaya kita sendiri, identitas kita. Budaya tidak akan lepas dari kehidupan kita. Sampai kemanapun kaki melangkah, ia akan tetap melekat kuat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun