"Perhaps I should not have been a fisherman, he thought. But that was the thing that I was born for."
— Ernest Hemingway (The Old Man and the Sea)
The Old Man and the Sea
The Old Man and the Sea adalah karya fiksi besar terakhir yang ditulis oleh Ernest Hemingway. Novella atau novel pendek ini ditulis pada tahun 1951 di Kuba. The Old Man and the Sea mendapatkan hadiah Nobel di tahun 1954, karya yang dinilai memperkuat keulungan literature Hemingway lewat narasi yang menggugah.
The Old Man and the Sea memiliki cerita yang sederhana. Kisah seorang bernama Santiago, nelayan tua dari Kuba yang berusaha menangkap seekor ikan marlin raksasa hingga terseret arus ke Teluk Meksiko.
Santiago adalah lelaki tua yang mempercayai jika hidupnya terlahir sebagai seorang nelayan. Santiago si nelayan tua harus menghadapi kekalahan besar sesekali, selama 83 hari ia telah gagal menangkap ikan seekor pun. Bahkan Santiago mendapat julukan "salao" yaitu tersial dari yang sial.
Melewati tiga hari perjuangan menaklukan seekor ikan marlin, ia harus menarik terus kailnya hingga jauh ia terbawa ke Teluk Meksiko. Santiago akhirnya dapat menaklukannya dengan harpoon. Ikan marlin itu diikatkan ke samping perahu Santiago, namun dalam perjalanan kembali ke darat, darah dari ikan marlin mengucur terus sehingga menarik para hiu untuk memakannya.
Santiago tua pun terus berusaha menghalau ikan hiu yang terus bermunculan dengan separuh tenaganya yang hampir habis. Hingga akhirnya ikan marlin itu habis dimakan oleh ikan hiu dan hanya tersisa tulang belulang. Santiago sampai ke darat dan disambut oleh Manolin, sahabatnya yang baru berusia 10 tahun. Banyak nelayan lain yang terkejut melihat besarnya tulang-tulang ikan yang sudah ditangkap oleh Santiago.
Santiago mengajarkan kita betapa hidup adalah mencapai tujuan dengan kesabaran, tabah dan gigih. Santiago tua mengajarkan kita untuk bertahan atas apa yang menjadi hak dan hasil jerih payah kita sendiri. Hidup bisa dikatakan berjuang dan menjadi nelayan adalah takdir yang terberi.
Hasan Gorang dan Lautnya
Santiago si nelayan tua dari Kuba dalam cerita The Old Man and the Sea ingin meninggalkan pesan yang dalam; ia selalu percaya jika ia memang terlahir sebagai nelayan. Di timur Indonesia, Lembata, Nusa Tenggara Timur, seorang lelaki bernama Hasan Gorang pun berfikir serupa; ia memang dilahirkan untuk menjadi seorang nelayan.
Hasan Gorang terlahir kembar, saudaranya bernama Hasan Dudeng. Namun, Hasan Gorang terlahir dengan fisik yang kurang sempurna, kakinya kecil dan ia tidak bisa berdiri tegap. Hasan Gorang sangat mencintai ibunya, terlihat dari matanya yang hampir menangis ketika bercerita bahwa ibunya sedang sakit saat ini.
“Dari umur 3 bulan, bapak merantau dan saya tidak pernah lihat wajahnya. Saya tumbuh besar dari tangan ibu” ujar Hasan Gorang.
Kehidupan keluarganya yang miskin membuat Hasan Gorang mengambil keputusan besar, di tahun 1970 untuk pertama kalinya ia memberanikan diri merantau ke Bonerate, Sulawesi Selatan seorang diri. Alasan Hasan Gorang merantau cukup sederhana; membeli ‘Body’ (perahu/sampan) untuk ia kembali ke rumahnya dan menghidupi keluarganya.
“Kami dari keluarga miskin, untuk makan susah apalagi kalau beli body. Mangkanya saya beranikan diri merantau untuk kumpul uang” tambah Hasan Gorang.
Beberapa tahun kemudian, Hasan Gorang kembali ke Lembata dengan uang untuk membeli body. Kehidupannya kembali menjadi lebih baik, ia pergi melaut dengan body sederhana dari hasil jerih payahnya. Dengan keterbatasannya ia pergi melaut seorang diri. Bertumpu pada kedua tangannya, Hasan Gorang selalu pulang membawa hasil.
Professor Membaca Alam
Kemampuan Hasan Gorang membaca alam tidak diragukan lagi, body nya sering pulang dengan hasil yang cukup untuk keluarganya.
“Asal kita merasa cukup untuk kebutuhan kita, tidak perlu ambil banyak-banyak sebenarnya” Ujar Hasan Gorang sembari tersenyum
Selain itu, Hasan Gorang pernah mengikuti lomba menangkap ikan dua kali. Dengan hanya menggunakan alat sederhana dan sampannya, Hasan Gorang berhasil menjuarai dua pertandingan dengan total hadiah Rp. 16.000.000.
Namun hingga hari ini, hadiah yang dijanjikan tidah pernah diterima oleh Hasan Gorang sepeser pun. Ben Tenti salah seorang pengusaha di Lembata yang menjadi sponsor pun tidak pernah datang memenuhi kewajibannya.
“Ini bukan pertama kali saya dibohongi orang, dulu sering orang datang bilang mau kasih bantuan. Tapi kebanyakan hanya mereka ambil nama saya, dicatat tapi tidak tahu apa setelah itu” Kata Hasan Gorang
Di sisi lain, Hasan Gorang pernah diancam di atas laut. Di tengah kekurangan fisiknya, Hasan Gorang pernah dicurigai pernah memakai mantra atau bom ikan. Padahal yang dia lakukan ketika menangkap ikan adalah hal yang sederhana; mempercayai alam semesta akan memberikan kebaikan pada mereka yang mau berusaha.
“Saya waktu itu diancam di atas sampan, disuruh menunjukkan daerah mana yang banyak ikan. Sampan saya disuruh jalan di depan, saya tidak mau. Takut dari belakang dipukul, saya bilang pada mereka kalau saya ini cacat dan ambil apa yang cukup untuk saya dan keluarga. Jadi mereka tidak perlu takut ikannya saya ambil semua”
Gemohin
Bagi orang Lembata, kata Gemohin artinya gotong royong. Jika mengambil dari ungkapan pidato Presiden Soekarno di depan peserta sidang BPUPKI, 1 Juni 1945, kata Gotong Royong menjadi landasan bagaimana Negara ini dibangun.
“Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua”.
Gemohin dalam masyarakat adat Lembata terlihat dari bagaimana seorang Hasan Gorang tidak pernah menghitung apa yang orang sudah lakukan untuk dia, tapi dari apa yang dia bisa perbuat untuk orang lain.
Tanpa segan, seorang Hasan Gorang mau membantu tetangganya membersihkan kebun atau membantu menggali sumur.
“Apa yang bisa saya lakukan pasti saya lakukan untuk bantu orang, sekali pun saya disuruh naik pohon kelapa untuk bantu ibu-ibu itu buat sayur saya mau” ujar Hasan Gorang.
Gemohin dijalani oleh Hasan Gorang dengan ikut terlibat di kebun contoh pangan lokal yang dikelola KLOMPPALD Lembata. Ia tidak segan membantu menanam pangan lokal, menjaga tanamannya dan turut terlibat ketika masa panen. Hasilnya cukup membantu, Hasan Gorang mampu menafkahi keluarganya dan membangun sebuah rumah untuk istri dan kelima anaknya.
Pesan dari Timur
Hasan Gorang menutup cerita pengalamannya dengan mengajak kita melihat ke alam Lembata dan dirinya sebagai seorang nelayan tua yang memiliki kekurangan fisik. Semua yang ada di laut dan di darat adalah pemberian Tuhan, jika seorang Hasan Gorang yang memiliki kekurangan fisik mau setiap hari mengambil rezeki dari Tuhan, kenapa kita yang memiliki tubuh yang lebih sempurna kerap kali dirundung malas?
Bertumpu pada kedua tanggannya Hasan Gorang mendorong tubuhnya untuk selalu tidak malas mengambil apa yang Tuhan beri.
“Kenapa orang yang punya tangan dan kaki takut dan mau merusak laut? Padahal laut adalah lumbung untuk makan kita semua” Tutup Hasan Gorang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H