Mohon tunggu...
Gui Susan
Gui Susan Mohon Tunggu... lainnya -

Pencinta buku, seorang ibu dari Fadhlur Rahman Al Kautsar dan anak dari Gui Hok Yang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Deru Kereta

15 Juli 2013   23:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:30 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Deru kereta yang kudengar masih sama. Rupanya ada beberapa hal dalam hidup yang tidak berubah banyak, aku mengira terlalu lebih dari pada kenyataan. Deru kereta yang kudengar detik ini ternyata sama saja, bunyinya, dan lampu sorot.

Bunyi yang sama seperti 2 tahun lalu, ketika pertama kali aku datang ke tempat ini dan mendengar suara deru kereta yang tidak bising.

Dari jarak dekat, deru kereta itu membuat aku mual terkadang. Tapi dari jarak kurang lebih 40 meter, deru kereta itu menjadi bunyi syahdu. Mungkin bukan hanya bunyinya, tapi kenangan atas sebuah kamar yang pernah sedemikian dalam.

Itu, 2 tahun lalu. Ketika muda belia, ketika cinta jadi susunan maha segala, ketika seorang lelaki masih tetap mencintaiku dengan sederhana, Nuno. Ah, itu masa lampau! Kekinian tidak lagi membilang apa itu cinta yang mampu kita maknai dengan sudut pandang yang sama.

Aku mengganti bajuku dengan lingerie bewarna merah darah, lalu perlahan aku menyisir rambutku yang kini sudah panjang dan memerah.

“Kau ke mana saja selama ini? Adakah rindu padaku?” tanyaku sambil terus menyisir rambutku, tidak ada jawaban. Aku sendiri tidak peduli, menjawab bukan suatu keharusan. Kadang diam juga bahasa, hanya makna yang bisa liar tanpa sebab.

Kemudian aku memakaikan jepit kecil di rambutku, jepit rambut bewarna merah muda. Lalu aku mengambil botol krim kulit, pelan aku membuka tutupnya dan membalur krim itu ke kaki dan tangan. Lihatlah, kini tubuhku tidak lagi kurus. Aktifitas 2 tahun membuat aku jarang berolahraga dan berfikir, sebentar, apa aku masih mampu berfikir?

“Kau kira aku masih mampu berfikir sayang?” kembali aku bertanya, tidak ada jawaban. Diam, dan aku lagi-lagi tidak peduli. Aku terus membalur tubuhku dengan krim.

Ternyata, bukan hanya tubuhku yang tidak lagi kurus, tapi kulitku pun seperti keriput; kering dan bersisik. Aku menatap lenganku, lalu kakiku, jari-jari. Usia adalah hal yang paling ditakuti oleh perempuan. Menjadi tua adalah hal yang mengerikan, kekenyalan kulit memang idaman kebanyakan perempuan, aku pun begitu.

Aku membalikkan badan, “Apa karena aku tidak muda lagi lalu kau meninggalkan aku?”

Tidak ada jawaban. Keheningan, tidak bersuara.

Aku kembali membalikkan badan menatap cermin, perlahan aku memoleskan eyeliner ke kedua kelopak mataku, garis hitam pekat kemudian memperjelas mataku. Aku tidak terlalu jelek untuk seorang perempuan, siapa bilang aku tidak cantik, aku kembang jelita.

Tapi, itu dulu. Kejelitaan adalah hal semu. Nyatanya kita dimakan usia, garis kerut, flek di wajah, dan kekenyalan kulit yang tidak lagi sama. Ah tidak, aku tidak bicara soal kedirianku. Aku ingin bicara soal kenangan dan deru kereta. Betapa aku merindu saat ini, semenjak 2 tahun lalu aku mendamba saat-saat seperti ini.

“Adakah kau rindu padaku selama ini? Ini kamar yang sama, kamar yang kita tempati dulu, 515” tanyaku lagi, dan diam, hening. Tidak ada satu kata pun keluar.

Kereta dari arah timur melaju cepat menuju barat. Aku terdiam, menghentikan aktifitasku, dan mendengarkan deru itu dalam diam.

---------------------------

Aku menghitung, jika tidak salah, ada 15 kereta sudah berlalu. Aku berdiri dari tempatku duduk. Lalu berbaring di ranjang. Aku terlentang.

Hotel ini masih tetap sama. Tetap sama sewaktu kau melihatku tanpa sehelai benang pun. Perasaanku pun tetap sama, tidak ada yang berubah. Sama seperti 2 tahun lalu kau biarkan darah keluar dari rahimku. Kemudian dunia ini jadi hening.

3 tahun lalu, sewaktu aku masih jelita, itu pertama kali kau mengajakku untuk ke tempat ini. Nuno, Nuno, aku memanggil namamu kini. Di ranjang yang sama, 2 tahun lalu.

“Pernahkah kau tanya kabarku? Atau sedetik saja berfikir aku cukup layak kau perjuangkan dengan cara terhormat? Atau memanglah aku tidak lagi menjadi hal segala untukmu?” Tanyaku, kali ini isak tangisku tidak lagi terbendung.

Air mata yang menderas terasa seperti hujan yang menitik di bulan Oktober, hujan yang membadai di tengah kemarau. Seketika bumi ini seperti diam, semua benda jadi diam. 2 tahun aku memeras tangis dari dua bola mataku, hingga akhirnya aku kandas dalam ketidaksadaran.

“2 tahun lalu, orang bilang aku gila. Hanya karena aku berbicara dengan kau. Bayangkan, siapa yang lebih gila? Aku percaya kau mendengar, kau ada, kau datang, dan kau cinta aku. Kau tahu Nuno? Mereka menyeretku ke rumah sakit, mereka bilang aku gila” Aku semakin terisak, kenangan 2 tahun lalu semakin menusuk jantungku.

Hening, lagi-lagi tidak ada jawaban. Aku tidak lagi peduli, lelaki ini menjawab atau tidak. Aku butuh bercerita, aku butuh keluar dari rumah siputku. Aku butuh hidup.

“Mereka kasih aku minum obat depresi, aku tidur seperti orang mati. Kalau terbangun dan melihat aku bergumam, mereka akan kasih aku obat lagi. Mereka bilang aku perempuan gila, kau percaya itu No?” tanyaku sembari menarik selimut hingga batas dagu. AC di kamar ini semakin menusuk sumsumku.

Hening, tidak ada jawaban. Aku menangis lagi, semakin deras, dadaku tersenggal. Lalu diam, aku diam dan tidak bergerak. Aku merasa dunia ini berputar semakin cepat.

“Kau tidak pernah datang sekalipun, di saat orang bilang aku gila dan di saat aku masuk rumah sakit jiwa, kau tidak sudi berkunjung. Malukah kau? Hingga saat ini kau tidak juga datang sayang, kau jadi angin, aku jadi deru kereta yang memburumu” Ujarku pelan.

Diam, tidak ada jawaban. Atau memanglah kau tidak pernah datang sekali pun. Hingga saat ini, aku berkeras. Menghadapi kegilaan adalah hal yang harus diusahakan hingga sendimu merenggang, tapi menghadapi kecintaan, kau tidak butuh alasan untuk menjadi waras. Yang kau rasai kau mencintai dengan sederhana, sayangnya, tidak semua hal bisa sesederhana seperti yang terlihat.

Aku menarik selimut hingga melewati batas kepala.

“Adakah kau dengar suaraku? Sedari tadi aku tetap berbicara sendiri, apa kau kira aku gila?” tanyaku lagi, hening, diam, Nuno tidak pernah ada, tidak pernah mewajah sedari tadi. Aku memeluk angin, kali ini deru kereta menuju barat seperti tergesa.

Nuno tidak pernah ada.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun