Mohon tunggu...
Gui Susan
Gui Susan Mohon Tunggu... lainnya -

Pencinta buku, seorang ibu dari Fadhlur Rahman Al Kautsar dan anak dari Gui Hok Yang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gie: Hidup Tanpa Takut

25 Maret 2017   11:26 Diperbarui: 25 Maret 2017   11:37 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Makhluk kecil kembalilah. Dari tiada ke tiada. Berbahagialah dalam ketiadaanmu.”
 ― Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran

Membaca edisi khusus tentang Gie di Majalah Tempo (Oktober, 2016) seakan membaca tentang catatan seorang pemberontak. Catatan yang menceritakan bagaimana setiap jiwa memiliki letupan jika melihat ketidakadilan. Terlebih lagi ketidakadilan itu sendiri berada nyaris di setiap ruang manusia. Gie membuat Catatan Seorang Demonstran menjadi rekam jejak dari kegelisahan yang dia rasakan setiap hari.

Dalam pelajaran sekolah tentunya nama Gie tidak berarti apa-apa. Gie tidak ditemui di bangku sekolah, tapi namanya berada di ruang-ruang orang yang berbicara ketidakadilan. Soe Hok Gie, lelaki keturunan cina peranakan yang selalu membuat saya tertarik.

Seingat saya, tidak pernah ada catatan sejarah tentang seorang cina peranakan yang berkaitan dengan sejarah membangun bangsa ini. Semasa Orde Baru, yaitu ketika saya masih kecil, saya sendiri pun terasing dengan ‘kecinaan’ saya sendiri. Tidak ada orang cina peranakan dalam buku sejarah kami waktu itu.

Mendengar nama Gie, orang yang pernah berdiri di depan demonstrasi melawan ketidakadilan dan mengkritik sistem pemerintahan yang mandek membuat saya sendiri menjadi yakin, siapa pun bisa berjuang untuk menolak ketidakadilan, tidak peduli dari mana kau berasal.

Dari edisi khusus Tempo tentang Gie sekilas saya melihat bagaimana seorang Gie tidak memiliki rasa takut. Rasa takut berasal dari besarnya hitungan kita terhadap hidup sendiri, apakah ada keluarga yang tersakiti jika kita melakukan sesuatu hal, atau adanya hitungan tentang dampak ekonomi jika kita melakukan sesuatu. Kita berhitung terlalu banyak hingga rasa takut itu kian membesar dan menelan diri kita sendiri. Takut tetap menjadi hal penting untuk mengendalikan jalan hidup kita, tapi itu relasinya antara kita manusia dan Tuhan.

Hari ini, tidak sedikit kita yang duduk di ruangan nyaman merasa takut jika suatu hari nanti kita harus turun status sosial dari mengendarai mobil sampai harus naik ojek. Atau jika hari ini tas branded kita dari merek Coach, Guess, Torry Burch harus turun menjadi tas tanpa merk yang dapat dibeli Pasar Senen dan sekitarnya. Apakah kita takut untuk itu?

Buat saya, itu menjadi pertanyaan jauh ke dalam diri sendiri. Kenapa kita jadi sedemikian takut? Membaca Gie artinya membaca kitab tentang hidup bersama dengan orang yang patut diperjuangkan dengan cara terhormat.

Dari Gie semestinya kita belajar, hidup itu soal pilihan. Apakah kita akan hidup dengan keberanian atau menjadi pengecut selamanya. Namun satu kali dalam hidup kita, biar sekali saja kita harus berani memutuskan hidup dengan keberanian. Bahwa semesta akan memperlakukan baik kita yang menghormati hati dan jiwanya. Seperti Gie bilang; Hidup Tanpa Takut.

“Stop complaining!?” said the farmer, Who told you a calf to be? Why don’t you have wings to fly with; Like the swallow so proud and free?” -Donna Donna, Joan Baez.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun