Kota Kyoto terletak di Pulau Honshu yang merupakan pulau terluas di negara Jepang, pulau ini juga lokasi dari kota-kota terkenal yang menjadi destinasi wisata seperti kota Tokyo, Osaka, Toyama dan Shirakawa-go. Jarak dari ibukota negara, Tokyo ke kota Kyoto sekitar 450 km.
Karena alasan efisiensi untuk menghemat biaya transpotasi dan tempat menginap yang sangat mahal di Jepang, saya hanya mengagendakan 2 hari keliling Kyoto saat mengunjungi negara itu bulan Oktober tahun 2017. Kyoto adalah ibukota negara Jepang kuno yang mempunyai 17 situs bersejarah yang dilindungi UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Denyut kotanya lambat dan santai yang membuat kita betah jalan kaki menyusuri jalan-jalannya apalagi saat itu awal musim gugur jadi udaranya sejuk, kadang turun hujan.
Tempat pertama yang saya datangi adalah Hutan Bambu Arashiyama yang menjadi tempat wajib dikunjungi para wisatawan. Disini terdapat sebuah shrine atau kuil kecil yang merupakan tempat berdoa bagi penganut tradisi Shinto dengan gerbang  torii yang artinya pembatas antara kawasan  tempat tinggal manusia dan kawasan suci, biasanya para turis hanya berfoto di gerbang torii ini. Di kawasaan hutan ini, kita bisa menyewa baju tradisional Jepang, Kimono sekaligus 1 paket naik becak yang pengemudinya didepan menarik becak dengan jalan cepat dan berlari.
Tak jauh dari Hutan Bambu, sekitar 1.5 km yang saya tempuh dengan berjalan kaki, terdapat kuil Budha dengan kawasan luas yang namanya kuil Nison-in. Yang paling menarik dari kuil ini adalah map yang berisi lokasi dan tata letak bangunan seluruh kawasan kuil yang berdiri di gerbangnya, map ini bergaya vintage ( kuno)  yang tulisan dan gambarnya dilukis  diatas kertas dengan kayu kokoh sebagai bingkai sekaligus kaki yang menopangnya.  Kawasan kuil sangat hening dan adem karena rimbun dengan pepohonan. Di belakang kuil, terdapat jalan panjang berundak ke atas menuju hutan.
Setelah lelah berjalan kaki seharian, saya haus dan mampir di kedai es krim tradisional yang dilengkapi soft drink vending machine di pinggir jalan utama, kemudian memilih es krim rasa macha atau teh hijau yang rasanya enak, tidak terlalu manis dan teksturnya lembut. Penjualnya seorang kakek tua, toko itu kelihatannya merangkap sebagai tempat tinggalnya tapi dia hanya tersenyum saat saya ajak berbicara dalam bahasa Inggris, mungkin dia tidak mengerti. Orang Jepang memang malas berbahasa asing, katanya mereka sangat bangga dengan bahasanya sendiri.
Pada hari kedua, saya mengunjungi kuil yang paling terkenal di Kyoto yaitu Fushimi-Inari Taisha, kuil penganut tradisi Shinto yang mempunyai torii (gerbang) yang panjang. Tempat ini sangat ikonik dan instagramable sehingga sangat ramai oleh pengunjung yang ingin berfoto di pintu kuil maupun di sepanjang torii.