Mohon tunggu...
Susan Budhi Utomo
Susan Budhi Utomo Mohon Tunggu... Freelancer - Being a blogger is the way to heaven ^_^

The world is so big but life is too short

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Dejavu saat Traveling di Amsterdam

10 Desember 2023   11:41 Diperbarui: 10 Desember 2023   14:04 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Zaanse Schans near Amsterdam, Netherlands (Dokpri)

Sebelum mulai membaca artikel ini, saya informasikan bahwa artikel ini saya tulis dengan pendekatan sains, bukan dengan pendekatan supranatural apalagi mistis. Sebenarnya saya ragu tulisan ini lebih cocok masuk katagori travel story atau cerita pemilih tapi setelah dipertimbangkan, mungkin lebih cocok dalam katagori analisis yang bagian dari cerita pemilih.

Mungkin kebanyakan orang yang hobby traveling ke luar negeri, lebih memilih destinasi yang paling dekat dulu  dari negara tempat tinggal. Orang Indonesia biasanya liburan ke negara-negara tetangga  seperti Singapore dan Malaysia  atau negara ASEAN lainnya sebagai destinasi pertama kemudian lanjut ke negara-negara yang lebih jauh di wilayah Asia Timur seperti China, Korea atau Jepang. 

Tapi pada tahun 2013, saya memutuskan traveling langsung ke tempat sangat jauh yang jaraknya ribuan kilometer dari Jakarta yang membutuhkan waktu tempuh kurleb 16 jam naik pesawat yaitu ke benua putih tepatnya Eropa Barat dengan destinasi 5 negara, Swiss, Jerman, Belanda, Belgia dan Prancis dengan alasan negara-negara disana mempunyai banyak museum seni serta bangunan bersejarah dengan arsitektur indah yang masih dilestarikan sebagai warisan budaya. 

Saat itu bulan Oktober dan sudah mulai musim gugur, pepohonan mulai layu berubah menjadi  warna coklat, kuning dan merah keliatan keemasan menghiasi sepanjang jalan saat keliling naik bis kecil disana. Temperatur udara terasa sangat dingin untuk saya yang seumur hidup tinggal di negara beriklim tropis walau sudah menggunakan outfit sesuai musimnya.

Setelah mengunjungi Swiss dan Jerman, kami menginap di Kota Amsterdam, Belanda selama 3 malam. Sejak meninggalkan kota Koln di Jerman menuju Amsterdam perasaan saya sudah tidak karuan campur aduk, mungkin bahasa kerennya melankolis. Saya seperti akrab dengan tempa-tempat dan suasana disana. Saat melihat taman, saya merasa seperti pernah jalan-jalan disana atau saat melihat restaurant di pinggir jalan, saya seperti pernah duduk diterasnya, saya seperti pulang kampung selama disana bahkan saat bis kami meninggalkan Amsterdam menuju Brussel di Belgia, tak terasa air mata saya berjatuhan karena sangat sedih seperti enggan meninggalkan kota itu.

Sampai di Jakarta, perasaan penasaran menghantui saya dengan kejadian di Amsterdam dan yang terpikir dalam benak saya adalah 1 kata yaitu reinkarnasi yang selama ini menjadi topik yang tidak pernah melintas di kepala karena saya tidak percaya bahwa mahluk hidup bisa berinkarnasi. Di sela-sela kesibukan, saya mencari berbagai informasi tentang reinkarnasi dari internet tapi tidak pernah menemukan jawaban yang memuaskan yang membuat saya frustasi dan akhirnya berhenti mencari informasi tentang hal tersebut walau pengalaman di Amsterdam masih mengganggu pikiran saya.

Bertahun tahun kemudian, saya mendapat secercah harapan ketika membaca artikel tentang memori genetik dalam psikologi yang menyebutkan bahwa memori genetik adalah fenomena yang diteorikan di mana jenis ingatan tertentu dapat diwariskan, hadir saat lahir tanpa adanya pengalaman sensorik terkait , dan ingatan tersebut dapat dimasukkan ke dalam genom dalam jangka waktu yang lama. Meskipun teori tentang pewarisan ingatan tertentu telah dibantah secara menyeluruh, beberapa peneliti berteori bahwa hubungan yang lebih umum yang dibentuk oleh generasi sebelumnya dapat diturunkan dari generasi ke generasi melalui genom.

Ketika membaca teori tersebut, ingatan saya langsung tertuju kepada kakek dari pihak ibu yang tidak pernah saya kenal karena beliau meninggal sejak saya masih kecil tapi almarhum ibu saya pernah bercerita bahwa kakek saya berasal dari  Belanda dan ditugaskan ke Indonesia sebagai tentara KNIL kemudian saat Indonesia merdeka, dia membelot menjadi anggota TNI dan menikah dengan nenek saya yang asli orang Jawa sehingga hubungan dengan keluarganya di Belanda terputus apalagi saat itu masih jaman perang. Saat menjelang tutup usia, dia mengalami demensia sehingga hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa Belanda, bahasa ibunya. Hanya sebatas cerita itu yang saya dengar tentang kakek bule saya.

Maka saya mulai menghubungkan antara teori memori genetik dan asal asul saya yang mempunyai kakek berasal dari negeri Belanda dengan kejadian di Amsterdam. Saya pikir hanya inilah alasan yang logis kenapa saya sering Dejavu saat berkunjung ke Amsterdam 10 tahun yang lalu. Walau secara fisik saya tidak mirip dengan ras Kaukasia tapi sepertinya gen memori leluhur bule saya lumayan dominan dalam gen saya.

Sebagai tambahan informasi, Déjà vu berasal dari bahasa Prancis, secara harfiah "pernah dilihat", adalah fenomena merasakan sensasi kuat bahwa suatu peristiwa atau pengalaman yang saat ini sedang dialami sudah pernah dialami di masa lalu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun