Pemikiran politik Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal yang memiliki latar belakang keluarga persia memang berimplikasi besar pada pemikiran politiknya. Terlebih seperti yang telah dijelaskan pada bagian biografi. Muhammad Iqbal kemudian dikenal sebagai pemikir politik Islam di masa modern. Meskipun zonasi pemikiran politik Muhammad Iqbal hanya terbatas di wilayah Asia barat seperti India, Pakistan, dan Iran namun terobosan yang ia lakukan cukup menggebrak batas-batas pemikir islam lainnya. Terlebih pada saat muhammad iqbal sangat aktif dengan kegiatan politiknya, islam sedang mengalami stagnansi pemikiran dan pencerahan.
secara sederhana terdapat beberapa pemikiran muhammad iqbal yang berikutnya akan kami jelaskan.
1.bagi muhammad iqbal kehidupan adalah sebuah kehendak kreatif dan terus bergerak. baginya ketika seorang manusia hidup dan tidak melakukan banyak inovasi untuk menyikapi perubahan sosial, maka yang akan ditemui adalah ketertinggalan. bagi kelompok kami apa yang disebutkan oleh muhammad iqbal dalam poin ini adalah realitas kebanyakan kelompok islam saat itu. maksudnya orang-orang muslim saat itu kemudian tidak menajdi peka sosial dan tetap statis dalam model pemikiran atau bahkan teknologi. bagi kami muhammad iqbal mengatakan demikian karena melihat umat islam yang terbuai di dalam kemenangan hitoris yang luar biasa di baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia.
2.baginya kemunduran umat islam pun karena menghindar dari rasionalistas dan berlindung dibalik syariat. maksudnya rasionalitas adalah bagaimana akhirnya umat islam tidak melihat sebuah fenomena dari kondisi nyata dan tidak merespon kondisi sosial karena alasan-alasan syariat. hal ini yang kemudian menjadikan umat islam tertinggal. bagi kelompok kami hal ini telah terjadi lebih dulu di masyarakat eropa pada amsa dark ages. hal itu persis terjadi karena umat kristiani saat itu tidak mau melihat masalah dan memecahkan masalah dengan cara yang rasional namun justru berlindung dibalik dogma-dogma gereja yang sangat dominan. hasilnya adalah umat kristiani atau orang-orang eropa hari itu yang mengalami dark ages selama beberapa ratus tahun. bahkan tulisan-tulisan pada masa itu pun sulit sekali untuk ditemukan. hal ini pula yang coba dikemukakan oleh muhammad iqbal. baginya stagannsi berpikir dan menolak pada pola pikir rasional dan lebih memilih berlindung dibalik syari’at yang terkadang tidak rasional lagi dengan konsisi sosial politik hari ini menjadikan umat muslim tertinggal jauh. bagi kami apa yang sedang terjadi di umat muslim hari ini merupakan representasi umat kristiani di eropa pad amasa dark ages.
3.masih linear dengan dua poin sebelumnya, karena muhammad iqbal berpikir bahwa manusia harus hidup dengan dinamis, maka baginya banyak aspek kehidupan yang perlu dilihat secara rasional juga, salah satunya adalah hukum. hukum bagi muhammad iqbal haruslah sangat rasional dan mengikuti perkembangan zaman. hukum yang statis hanya akan membuat masyarakat pada ketertinggalan zaman. bahkan bagi muhammad iqbal al-qur’an sendiri yang mengajarkan penggunaan akal untuk menyikapi fenomena sosial. dan kemudian muhammad iqbal berusaha mengaplikasikannya pada dinamisasi hukum untuk kesejahteraan orang banyak. kami sepakat ketika hukum menjadi sangat statis maka tidak akan sejalan dengan kondisi masyarakat. sebagai contoh kita sudah mengetahui bahwa kehidupan sosial sangat dinamis dan setiap harinya fenomena sosial-politik terus berubah, kemudian yang menjadi pertanyaan terbesar kelompok kami adalah bagaimana jika hukum yang kemudian menengahi kumpulan fenomena sosial ini statis ? yang kemudian muncul adalah keos karena hukum yang statis akibat pemikiran yang statis pula tidak dapat mengakomodir dinamika sosial yang ada. rasionalitas dan dinamika hukum ini yang kemudian diangkat oleh muhammad iqbal.
4.masih berbicara soal rasionalitas, maka muhammad iqbal berkata bahwa islam mengakui adanya perubahan sosial dan dinammika didalamnya. kami pikir berangkat dari satu anggapan muhammad iqbal ini saja kita bisa melihat islam sebagai agama yang sangat sempurna. bagi islam perubahan adalah hal yang wajar, karena masyarakat terus bergerak dan berubah. kemudian yang menjadikan islam terkesan tertinggal hari ini karena para penganut agama islam yang kemudian tidak memahami “fleksibilats” islam tersebut. sebagian kelompok islam kemudian men-cap perubahan yang bisa dibilang signifikan sebagai fenomena orang-orang kafir. padahal perubahan yang terjadi belum tentu benar kafir. mengapa fenomena ini terjadi ? hal ini dikarenakan para penganut agama islam yang tidak mau berubah dan tetap statis. sehingga ketika ada perubahan yang cukup fundamental dalam kehidupan sosial, yang mereka bawa adalah embel-embel syariat sebagai media pelindung statisnya umat.
5.jika poin 1-4 menjelaskan pemikiran politik muhammad iqbal secara abstrak sekali, poin ini akan memberikan pandangan muhammad iqbal tentang konsep nasionalisme. terlebih beberapa dari anggoa kelompok kami pun mengambil mata kuliah nasionalisme dan etnisitas. secara sederhana kita dapat memasukan muhammad iqbal pada tokoh pan-islamisme. apakah itu pan-islamisme? itu adalah sebuah semangat nasionalisme yang melewati batas-batas teritorial. untuk lebih menyederhanakannya, bagi muhammad iqbal semangat nasionalisme kita sebagai orang muslim kemudian tidak bisa dibatas oleh negara atau zona teritori. kesamaan semangat akibat kesamaan agama yang kemudian bagi muhammad iqbal wajar untuk berkumpul dan mendirikan sebuah negara. baginya semangat ini penting dan tidak bisa diatur oleh batas-batas negara. bahkan muhammad iqbal sendiri disebut sebagai bapak pakistan karena pemikiran pan-islamisme-nya yang sangat kuat didataran india. berikut kami akan menjelaskan hubungan antara muhammad iqbal dan pakistan.
pakistan adalah sebuah negara yang mendapatkan kemerdekaan dari inggris pada tahun 1947 dengan gerakan kemerdekaan yang dipimpin oleh Ali-Jinnah. Ali-Jinnah sendiri adalah kenalan dari muhammad iqbal dan pergerakan kemerdekaan ali-jinnah sangat didukung oleh muhammad iqbal. pada tahun 1956 sendiri pakistan menjadi negara republik islam. pergerakan ali-jinnah sangat didukung oleh muhammad iqbal karena bagi muhammad iqbal ali –jinnah adalahmuslim modern yang pemikirannya sangat terbuka pada asa itu. sebaliknya pula, ali-jinnah pun banyak berdiskusi tentang konsep kenegaraan dari muhammad iqbal, termasuk salah satunya adalah pan-islamisme.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa pemekiran Muhammad Iqbal dalam segi politik adalah bagaimana konsep nasionalisme yang bersifat pan-islamisme. hal ini dikarenakan semangat beliau dalam mengusir dominasi barat dan kolonialisme yang saat itu terjadi di dataran india dan Pakistan. namun sebagai seorang pemikir politik yang memiliki rasa nasionalisme demikian, bagi Muhammad Iqbal penggunaan akal bagi seorang muslim sangatlah penting untuk terciptanya hukum-hukum yang kemudian relevan dengan dinamika sosial politik masyarakat. sehingga analisis umat islam yang tertinggal hari ini lebih disebabkan umat islam yang seolah terbutakan oleh syariat semata dan tak memandang penggunaan akal (rasionalitas) untuk melihat dinamika sioal-politik kekiniian.
Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham,adat istiadat dan sebagainya agar disesuiakan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi modern. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern merupakan alternative menuju umat Islam yang selama ini diperdebatkan di kalangan ulama Klasik yang kurang setuju dengan ide pembaharuan dalam Islam. Periode Modern (1800 M dan seterusnya) merupakan zaman kebangkitan umat islam. Salah satu pengaruh modernitas hasil interaksi dunia Islam dengan dunia Barat adalah munculnya ide komunalisme, yang selanjutnya melahirkan sebuah Negara tersendiri bagi sebuah komunitas-komunitas masyarakat Islam di anak benua India, yang kelak bernama Pakistan. Adapun tokoh yang memiliki gagasan tentang islam modernisme adalah Ahmad Iqbal. Berikut adalah gagasan tentang pemikiran Ahmad Iqbal :
Muhammad Iqbal dikenal luas sebagai Bapak Spiritual Pakistan. Pidato kepresidenannya di Liga Muslim pada tahun 1930, telah membatu meluncurkan gerakan yang bertujuan untuk membagi Asia Selatan jajahan Inggris ke dalam dua Negara, Pakistan-Muslim dan India-Hindu yang sama-sama berdaulat. Di dunia politik, Iqbal dikenal juga sebagai “Kekuatan penggerak modernism Islam di Asia Selatan. Iqbal mekancarkan kritik tajam terhadap kekakuan penafsiran keagamaan tradisional dan menyerukan suatu penekanan baru terhadap konsep pergerakan dalam penafsiran Islam.
Sebagai sebuah pergerakan cultural, Islam pada dasarnya menolak pandangan lama yang statis tentang alam semesta. Sebagai agama yang penuh dengan sikap toleransi yang tinggi yang bersifat menyatukan, Islam menghargai individu sebagaimana mestinya, dan menolak hubungan-darah sebagai aspek dasar dari persatuan manusia.
Iqbal mencontohkan salah satu contoh yang kontras dari pandangan Islam tadi. Agama Kristen yang sejak awalnya muncul sebagai tatanan yang monastic (gerejawi) telah dicoba oleh Konstantin (Kaisar Romawi, memerintah pada tahun 306-337) sebagai suatu sistem penyatuan. Kegagalan agama Kristen untuk berfungsi sebagai sistem tesebut mendorong Kaisar Julian (memerintah tahun 361-363) untuk kembali pada dewa-dewa lama Romawi yang ia coba berikan penafsiran-penafsiran filosofis. Seorang sejarawan modern tentang peradaban telah menggambarkan keadaan dunia yang beradab ketika Islam muncul dalam panggung sejarah.
Dan sebagai hasilnya, ternyata peradaban besar yang telah dibangun selama empat ribu tahun itu sudah mendekati kehancurannya, dan umat manusia sepertinya akan kembali kepada keadaan barbarian di mana setiap suku dan kelompok saling menyerang, dan hukum serta peraturan sudah tak dikenal. Aturan-aturan kesukuan lama pun sudah tak ada pengaruhnya lagi. Oleh karena itu, cara-cara kekaisaran lama tidak akan dapat berjalan lebih lama lagi. Aturan-aturan baru yang dibuat oleh Kristen telah menimbulkan perpecahan dan kehancuran yang menggantikan persatuan dan keteraturan. Maka, masih adakah kebudayaan yang dapat digunakan untuk menghantarkan manusia sekali lagi kepada persatuan dan untuk menyelamatkan peradaban? Menurut Iqbal, kebudayaan itu harus merupakan sesuatu yang baru, sebab aturan-aturan dan tata cara yang lama telah mati, dan untuk membangun kembali yang lain dari jenis yang sama akan meupakan pekerjaan yang akan memakan waktu berabad-abad. Iqbal menambahkan bahwa dunia ini sedang membutuhkan sebuah kebudayaan baru untuk mengambil alih tempat sebagai budaya kekaisaran dan sistem penyatuan yang didasarkan pada pertalian darah. Kehidupan dunia secara intuitif telah mengetahui kebutuhannya sendiri, dan pada situasi kritis menentukan arahnya sendiri.
Islam, sebagai sebuah Negara, menurut Iqbal, hanyalah suatu sarana praktis dalam menjadikan prinsip ini sebagai factor yang hidup di dalam kehidupan intrlrktual dan emosional manusia, Islam menuntut kesetiaan kepada Tuhan, bukan kepada kaisar. Karena Tuhan menjadi basis spiritual yang hakiki bagi semua kehidupan, kesetiaan kepada Tuhan sebenarnya sama dengan kesetiaan manusia kepada cota alaminya sendiri. Basis spiritual yang hakiki bagi semua kehidupan, sebagaimana dijelaskan dalam Islam, adalah abadi dan menyatakan dirinya dalam keragaman dan perubahan. Suatu masyarakat yang didasarkan konsepsi tentang realitas seperti itu harus menggabungkan, dalam kehidupannya, kategori-kategori yang tetap dan berubah. Masyarakat itu harus memiliki prinsip-prinsip abadi untuk mengatur kehidupan kolektifnya; karena keabadian itu member kita pijakan dalam dunia yang terus berubah. Akan tetapi, prinsip-prinsip yang abadi ketika dipahami untuk meniadakan semua kemungkinan perubahan, yang menurut al-Qur’an termasuk “tanda-tanda” terbesar dari Tuhan, cenderung untuk menghentikan apa yang pada esensinya bergerak secara alamiah. Kegagalan Eropa dalam ilmi-ilmu politik dan sosial mengilustrasikan prinsip yang pertama; kemandegan Islam selama 500 tahun terakhir melukiskan prinsip yang berikutnya. Jadi apakah prinsip pergerakan dalam Islam? Inilah yang dalam literature Islam dikenal sebagai ijtihad.
Kata ijtihad secara literal “mengerahkan kemampuan”. Dalam terminology hukum Islam ia berarti mengerahkan segala kemampuan dengan tujuan menghasilkan suatu penilaian yang independen dalam suatu masalah hukum. Muhammad Iqbal meyakini hal tersebut sesuai dengan ayat al-Qur’an yang artinya, “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridlaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan jalan Kami”. (Q.S. 29:69). Secara leih definitive digambarkan dalam sebuah hadits Nabi. Ketika Mu’adz (Ibn Jabal, wafat 627) dipilih sebagai pejabat di Yaman, diceritakan bahwa Nabi bertanya kepadanya tentang bagaimana ia akan memutuskan perkara-perkara yang dihadapinya, “Saya akan memutuskan perkara itu berdasarkan Kitab Allah,” Kata Mu’adz. “Tetapi, jika dalam Kitab Allah tidak terdapat petunjuk bagimu?” “Maka aku akan berbuat berdasarkan contoh dari hadis-hadis Rasulullah.” “Tetapi, jika dalam hadis-hadis juga tidak ditemukan?” “Maka aku akan berusaha membuat penilaian sendiri.”
Hukum Islam tentunya selalu dikaitkan dengan al-Qur’an sebagai dasar sumber hukum utama dalam agama Islam. Iqbal menjelaskan bahwa, ya, sumber utama hukum Islam adalah al-Qur’an. Akan tetapi, menurutnya, al-Qur’an bukanlah kitab undag-undang. Tujuan utamanya adalah untuk membangkitkan kesadaran manusia lebih tinggi tentang hubungannya dengan Tuhan dan Alam. Tidak diragukan bahwa al-Qur’an telah meletakkan beberapa acuan prinsip dan aturan umum, khususnya yang berhubungan dengan keluarga sebagai basis kehidupan sosial. Akan tetapi, mengapa aturan-aturan tersebut dijadokan bagian dari pewahyuan tentang tujuan akhir kehidupan manusia yang lebih tinggi?
Maka, hal penting yang harus dicatat berkaitan dengan hal ini, bagaimanapun juga, adalah pandangan al-Qur’a n yang dinamis. Adalah jelas bahwa dengan cara pandang demikian, Kitab suci agama Islam itu tidak dapat bermusuhan dengan gagasan evolusi. Hanya saja, kita tidak boleh lupa bahwa kehidupan itu tidak berubah, tetapi tetap murni dan sederhana. Ia juga mengharuskan adanya konservasi terhadap elemen-elemennya. Sambil menikmati aktivitas kreatifnya dan selalu berusaha untuk memusatkan energy-energinya untuk menemukan pandangan hidup baru, manusia memiliki suatu perasaan yang tidak mudah untuk menampilkan pengungkapannya sendiri. Dalam gerak majunya, ia tidak dapat menolak untuk melihat ke masa lalunya, dan menghadapi ekspansi batinnya sendiri dengan perasaan takut yang memuncak pada batas-batas tertentu. Spirit manusia dalam gerak majunya akan ditahan oleh kekuatan-kekuatan yang tampak berhadap-hadapan secara langsung. Ini hanyalah cara lain untuk mengatakanbahwa kehidupan bergerak dengan beban masa lalunya di belakangnya, dan bahwa menurut pandangan sosial manapun, nilai dan fungsi kekuatan-kekuatan konservativisme tidak dapat dihilangkan begitu saja. Dengan pandangan organic ke dalam esensi ajaran al-Qur’an, rasionalisme modern harus mendekati institusi-institusi kita yang ada. Tidak ada seorang pun yang dapat menolak masa lalu mereka seluruhnya, karena masa lalu itulah yang telah membentuk identitas pribadi mereka; dan dalam sebuah masyarakat seperti Islam, masalah revisi institusi-institusi lama masih tetap sulit dilakukan, dan tanggung jawab pembaru melingkupi aspek-aspek yang jauh lebih serius. Islam itu non-teritorial dalam karakternya, dan tujuannya adalah untuk memberikan model bagi semua kombinasi akhir kemanusiaan, dengan menarik penganut dari berbagai macam ras yang saling bertentangan dan kemudian mentransformasikan gagasan utama ini kepada orang yang memiliki kesadaran diri. Ini adalah tugas yang tidak mudah untuk dilaksanakan. Belum lagi Islam, dengan makna institusinya yang dipahami dengan baik, telah sangat berhasil menciptakann semacam keinginan dan kesadaran kolektif dalam masyarakat yang heterogen ini. Dalam evolusi masyarakat yang demikian, bahkan aturan-aturan yang berhubungan dengan makan dan minum, kesucian dan kotoran, memiliki nilai kehidupan, sebagaimana ia bertujuan untuk memberikan kepada masyarakat tersebut kehidupan batin yang spesifik, dan selanjutnya mematikan keseragaman eksternal dan interal yang menghalangi kekuatan-kekuatan keberagaman yang selalu tersembunyi dalam masyarakat. Pengkritik institusi-institusi ini dengan demikian harus mencoba untuk menjaga, sebelum ia mulai untuk menanganinya, pandangan yang jernih kepada kepentingan terakhir dari eksperimen sosial yang dikemas dalam Islam. Ia harus melihat struktur mereka, tidak dari sudut pandang menguntungkan atau tidak menguntungkan secara sosial bagi Negara ini atau itu, tetapi dari sudut pandang tujuan yang lebih besar yang secara gradual berlaku dalam kehidupan manusia secara keseluruhan.
Untuk itu Iqbal menyimpulkan bahwa baik dalam prinsip-prinsip dasar maupun dalam struktur sistem-sistem kita, sebagaimana kita jumpai sekarang, tidak ada sesuatupun untuk membenarkan sikap kita sekarang. Dilengkapi dengan pemikiran yang tersebar dan pengalaman yang segar, dunia Islam harus berani meneruskan upaya rekonstruksi para pendahulu mereka. Upaya rekonstruksi ini, bagaimanapun, memiliki aspek-aspek yang jauh lebih serius daripada sekadar penyesuaian diri dengan kondisi-kondisi kehidupan modern. Umat islam, di sisi lain, dikuasai ole hide-ide pokok yang berdasarkan pewahyuan, yang berbicara dari kedalaman-kedalaman kehidupan tertinggi, yang menyusupkan penampakan eksternalnya. Dengannya, basis spiritual kehidupan adalah masalah keyakinan, yang dengannya bahkan orang yang paling tidak tercerahkan sekalipun dapat menjalani hidupnya; dan karena ide dasar Islam bahwa tidak mungkin ada lagi wahyu berikutnya yang mengikat manusia, secara spiritual kita harus menjadi salah satu dari kaum yang paling merdeka di dunia. Umat Islam awal yang muncul dari perbudakan spiritual Asia pra Islam, tidak siap untuk menyadari signifikasi dari ide dasar ini. Biarlah umat Islam sekarang mengapresiasi keadaannya, merekonstruksi kehidupan sosialnya berdasarkan prinsip-prinsip tertinggi, dan mengembangkannya untuk tidak hanya sampai pada pencapaian parsial tujuan Islam, dimana demokrasi spiritual merupakan tujuan tertinggi Islam.
Kesimpulan
Pemikiran Muhammad Iqbal berasal dari dua peradaban antara Timur dengan Barat. Karena Beliau lahir dan besar di Timur Tengah namun Beliau banyak belajar di Barat, dimana kedua budaya yang berbeda tersebut menyatu dalam dirinya. Akan tetapi kedua budaya tersebut tidaklah mengubahj keyakinan Iqbal atas Alqur’an. Iqbal sempat menjabat sebagai Presiden Liga Muslim. Ia juga merupakan tokoh pencetus Negara Islam Pakistan. Pengaruhnya juga sangat membawa pengaruh yang cukup signiifikan terhadap beberapa lembaga di Jerman, Italy, dan Negara Eropa lainnya.
Kondisi politik ketika zamannya ialah ketika Pakistan meraih kemerdekaannya dari Inggris. Karena pada saat itu Inggris sangat mendominasi India, sehingga Negara tersebut terbagi menjadi dua kubu antara yang pro denga Inggris dan yang Kontra denga Negara tersebut. Pada saat itu Iqbal juga sangat terkenal sebagai pengkrityik terhadap dominasi Hindu pada waktu itu. Demi mengamankan posisi pada system India, Ia bersama Jinan membangun partai politik yang besar.
Negara, menurut Iqbal, hanyalah suatu sarana praktis dalam menjadikan prinsip ini sebagai faktor yang hidup di dalam kehidupan intelektual dan emosional manusia, Islam menuntut kesetiaan kepada Tuhan, bukan kepada kaisar. Karena Tuhan menjadi basis spiritual yang hakiki bagi semua kehidupan, kesetiaan kepada Tuhan sebenarnya sama dengan kesetiaan manusia kepada alaminya sendiri. Basis spiritual yang hakiki bagi semua kehidupan, sebagaimana dijelaskan dalam Islam, adalah abadi dan menyatakan dirinya dalam keragaman dan perubahan.
Suatu masyarakat yang didasarkan konsepsi tentang realitas seperti itu harus menggabungkan, dalam kehidupannya, kategori-kategori yang tetap dan berubah. Masyarakat itu harus memiliki prinsip-prinsip abadi untuk mengatur kehidupan kolektifnya. Akan tetapi, prinsip-prinsip yang abadi ketika dipahami untuk meniadakan semua kemungkinan perubahan, yang menurut al-Qur’an termasuk “tanda-tanda” terbesar dari Tuhan, cenderung untuk menghentikan apa yang pada esensinya bergerak secara alamiah.
Pemikiran Muhammad Iqbal dalam segi politik adalah bagaimana konsep nasionalisme yang bersifat Pan-Islamisme. beliau dalam mengusir dominasi barat dan kolonialisme yang saat itu terjadi di dataran india dan Pakistan. Karena pada dasarnya Ia memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, contohnya ialah bagaimana Ia mengusir penjajah yang pada wakltu itu ada di India dan Pakistan. Ia juga sangat rasional, ketika melihat dinamika social politik modern ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H