Upaya pembangunan berbagai fasilitas infrastruktur produksi  energi primer maupun final di Indonesia belakangan ini, terutama yang menyangkut energi terbarukan, pantas disambut dengan baik. Pemerintah melalui Kementrian ESDM (Kementerian Energi dan Sumber Daya mineral) terus melakukan upaya untuk memenuhi kebutuhan energi (utamanya listrik) nasional.
Akan tetapi, menurut MASKEEI (Masyarakat Konservasi dan Efisiensi Indonesia) dalam rangka usaha memenuhi kebutuhan energi, yang belakangan ini kian meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk, pemerintah masih menitikberatkan kepada strategi memperkuat sisi pasokan (supply) dan pemerataan distribusi, sedangkan dari sisi permintaan (demand) atau pemanfaatan energi belum mendapat perhatian yang cukup.
Padahal, menurut berbagai hasil studi, potensi ekonomi dalam bidang efisiensi dan konservasi energi kabarnya mencapai 5-6 miliar dolar AS Â per tahun (data MASKEEI).Â
Potensi tersebut mencakup nilai penghematan energi dan nilai investasi yang perlu dilakukan untuk membangun dan menerapkan teknologi hemat energi. Menurut berbagai data yang dihimpun organisasi yang sama, potensi efisiensi untuk Indonesia dalam potensi penghematan mencapai 15 - 17%, yang pada 2025 nilai ekonominya diperkirakan sekitar USD 6 miliar per tahun (studi Asian Development Bank, 2013).
Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan upaya efisiensi dan konservasi secara aktif dan terstruktur, di samping terus mencari sumber-sumber energi baru dan memanfaatkan sumber-sumber energi terbarukan yang melimpah dan belum banyak tergarap di Indonesia.Â
Hal tersebut diperlukan untuk membantu upaya mencapai ketahanan energi nasional di masa yang akan datang, yaitu mengantisipasi pertumbuhan ekonomi cukup tinggi di tingkat 5 - 7% per tahun.
Sebagai contoh, kebijakan BBM satu harga serta pemerataan akses energi listrik nasional di satu sisi adalah upaya bagus untuk menyejahterakan rakyat serta tercipta harapan adanya pertumbuhan ekonomi yang sehat. Kendati begitu, di sisi lain bila hanya suplai saja yang ditambah dalam upaya pemenuhan pasokan, tanpa upaya mengendalikan pemakaian energi dengan serius, potensi persoalan yang timbul akibat lonjakan permintaan energi bisa mengakibatkan pemerintah harus melakukan investasi relatif besar untuk memenuhi kebutuhan energi di Indonesia.
Pemerintah sebenarnya telah menyadari pentingnya pengelolaan dari sisi permintaan energi. UU No.30/2017 tentang energi dan PP No. 70/2009Â yang menjadi basis kebijakan energi nasional. Akan tetapi, menurut MASKEEI, regulasi berdasarkan pelaksanaan kebijakan tersebut belum dilakukan secara optimal dan konsisten, di antaranya tentang kebijakan harga, insentif, dan disinsentif bagi upaya penghematan energi yang dilakukan oleh masyarakat, terutama di sektor riil.
Salah satu contoh sederhana untuk masyarakat konsumen, penghematan bisa dilakukan dengan mengganti lampu pijar konvensional dengan lampu CFL atau LED. Harga lampu CFL sudah terjangkau masyarakat cukup luas, tetapi harga lampu LED (lebih efisien dan mampu bertahan 5-10 tahun) sepertinya masih cukup mahal, meski akhir-akhir ini harga lampu LED sudah mulai bervariasi, dari yang murah hingga yang mahal (sesuai penetapan harga produsen dan kualitas masing-masing). Sayangnya, sampai sekarang sebagian besar lampu LED masih produk impor dari negara lain, terutama dari Cina.
Selain itu, sudah mulai beredar teknologi hemat energi yang bertujuan mengefisienkan penggunaan energi listrik di rumah tangga, industri, dan gedung-gedung komersial. Sejumlah palet produk yang ditawarkan misalnya Smart Home, Smart Office, Smart Building, dsb. Hanya saja, ongkos yang mesti dibayarkan juga tidak kecil.
Walau saat ini solusi-solusi tersebut masih belum terjangkau oleh masyarakat umum di Indonesia, setidaknya keberadaan mereka memberi peluang bagi pemakai energi untuk melakukan penghematan, yang pada gilirannya akan mengurangi beban pengeluaran rutin bulanan.