[caption id="attachment_196859" align="aligncenter" width="450" caption="Ilustrasi/Admin(Shutterstock)"][/caption] Sebut saja Namanya Briando,dia berlatar belakang dari keluarga miskin. Sejak dibuka pendaftaran sebuah audisi ajang mencari bakat yang disiarkan salah satu stasiun televisi negeri ini. Semula dia sangat berharap untuk dapat menjadi seorang bintang. Sehingga Ketika lolos audisi, sungguh, semalaman dia dan keluarga bergembira, hingga tak mampu memejamkan mata. Ternyata semua ini, awal dari kesengsaraan. Setelah sekian bulan lamanya mereka melalui proses yang melelahkan. Akhirnya ajang pencari bakat itu pun tiba pada tahap akhir,tahap yang ditunggu-tunggu yaitu final penentuan sang juara yang hanya menyisahkan 2 kontestan. Diantara 2 kontestan itu Briando salah satunya. Sejak masuk final Briando bukan mengincar posisi juara. Bukan lagi itu yang dia inginkan. Bagaimana pun juga, dia harus menjadi juara pada malam ini. Dia memikul tanggung jawab yang besar. Demi keluarga, demi orangtua, Briando harus juara! Suasana di studio malam itu terasa tegang, Briando memandang sekelilingnya dengan detak jantungnya yg berdetak kencang sedangkan mata penonton mengarah pada pembawa acara yang sedang membacakan siapa pemenangnya yang sukanya membuat penonton jantungan. Mengapa tidak,Si pembawa acara berulang kali hendak menyampaikan siapa pemenangnya. Begitu disebut nama salah satu kontestan, lalu dengan gaya berlama-lama hendak mengumumkan, eh tiba tiba dilanjutkan tetapi dialihkan ke topik lain, dengan menanyakan apa tanggapan Anda kalau nanti tidak juara? Dan bukan menyebutkan siapa pemenangnya! Mungkin ini trik si pembawa acara supaya para pendukung sedikit jantungan. Dan akhirnya Seketika Briando terbodoh. Jantungnya seakan terbanting dari ketinggian lantai tiga. Dia melihat mulut kontestan yang menjadi saingannya di final terbuka lebar menjeritkan sesuatu yang tak terdengar jelas olehnya lagi. Para pendukung saingannya pun melompat girang. Briando kalah,dia tidak menjadi pemenang pada ajang pencari bakat itu. Berhari-hari selepas malam itu, Briando hanya bisa merenung dan murung sendirian di kamarnya. Dan bahkan terkadang dia sering mematung di tempat dimana pun dia berada. Ya ada yang tak beres pada Briando. "Motor sudah dijual... Rumah juga sudah digadai..Utang disana-sini Demi meraih cita-cita Briando di atas panggung glamor”. Briando baru sadar bahwa dia dan teman-temannya selama menjadi kontestan ajang pencari bakat tersebut adalah orang-orang yang dijadikan kedok dari sebuah bisnis yang sangat menggiurkan. " Rp. 2.000 untuk satu kali SMS, 60% untuk operator, 40% untuk penyelenggara. Bila hanya sejumlah 3% penduduk Indonesia yang mengirimkan SMS dukungan, keuntungan yang diperoleh penyelenggara pun sudah mencapai empat puluh milyar lebih..." Demi meraih cita-cita di atas panggung glamor, keluarga para kontestan seakan telah terhipnotis untuk melakukan hal-hal di luar akal sehat. Sama halnya dengan keluarga Briando menjual hartanya,mengadaikan rumah dan meminjan uang untuk membeli pulsa dan membiayai jari-jari orang yang bukan merupakan pendukung Briando untuk mengirimkan SMS dukungan! Briando tahu bahwa dia bisa bertahan sampai di final bukan karena dia berbakat. Semuanya tergantung pada SMS dukungan. Dan kini orang tuanya berhutang, hingga ratusan juta, rumah sudah tergadai dan ahrta sudah habis terjual karena Briando tidak menang. Briando hanya bercita-cita menjadi seorang penyanyi, kenyataannya dia berbakat. Mengapa pada akhirnya dia tetap harus terhina dan terluka oleh karena dia tidak menang? Apa karena karirnya tidak bergantung pada bakat, melainkan SMS dukungan yang semakin banyak semakin baik? Oh, Tuhan...! Inikah dunia yang selalu dikatakan adil?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI