Mohon tunggu...
Suryono Brandoi Siringoringo
Suryono Brandoi Siringoringo Mohon Tunggu... Jurnalis -

Aku bukan seorang optimis yg naif yg mnghrapkan harapan-harapanku yg dkecewakan akan dpnuhi dan dpuaskan di masa dpan. Aku juga bukan seorang pesimis yg hdupnya getir, yg trus menerus brkata bhw masa lampau tlh mnunjukan bhw tdk ada sesuatu pun yg bru dbwah matahari. Aku hanya ingin tmpil sbg manusia yg membwa harapan. Aku hdup dgn kyakinan teguh bhw skrng aku bru mlhat pantulan lembut pd sbuah kaca, akan tetapi pd suatu hari aku akan brhdpan dgn masa dpn itu, muka dgn muka.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Fitri (Kisah 4 Tahun Silam)

24 Agustus 2014   05:31 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:43 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1408807861170290548

Entah mulai dari mana kisah cinta yang sungguh membingunkan ini kumulai. Kisah cinta yang bersemi di dunia maya. Jika ditanya apakah aku bahagia mencintainya dulu walau hanya lewat telepon, sms dan jejaring sosial, facebook? Ah, aku tidak tahu. Satu hal yang pasti kehadirannya beberapa tahun yang lalu sedikit banyak “merenggut” sifat kelelakianku.

Dia adalah perempuan manis yang aku kenal sudah cukup lama, semenjak aku masih kecil. Memang dia adalah gadis satu kampungku di sebuah desa yang indah yang jaraknya hanya 2 km dari kota Pangururan, lebih tepatnya desa Tanjung Bunga. Dia adalah teman semasa remaja di perkumpulan muda-mudi di gereja, Mudika. Kulitnya putih, wajahnya bersih. Dia adalah gadis menarik yang serasa magnet yang selalu menarik perhatianku. Keanggunannya terlihat berbinar. Meski dia adalah gadis satu kampungku, tetapi aku baru mengenal lebih dalam tentangnya selepas dia merantau ke Padang dan aku ke Medan untuk melanjutkan pendidikannya, kuliah. Dan interaksi kami melalui jejaring sosial bernama yang membuat kedekatanku dengan kian merekah.

Aku tak mengingat pastinya, kapan dan tanggal berapa aku mulai berhubungan dengannya lewat dunia maya. Tetapi, hari itulah yang membuatku kian tenggelam dalam perasaan indah tak terkata.

Hari itu senja datang menerpa. Tidak biasanya langit memburai senyum lewat awan jingga, cantik! Selepas kuliah aku sempatkan untuk berkunjung ke warnet dekat kosku hanya untuk sekadar berinteraksi dengan teman lewat situs jejaring sosial. Dengan langkah agak terjuntai, aku buka pintu hitam yang sedari tadi menantang untuk kumasuki. Begitu masuk, mataku mencari-cari komputer yang kosong.

Kuputuskan untuk duduk di pojokkan, karena memang hanya itu satu-satunya komputer yang belum terjamah. “Paket bebas bang,” kataku kepada operator warnet. Mulai kutekan tombol “power” di pinggiran CPU, dan mulai terdengar “bahasa” mesin yang menandakan komputer sedang berproses agar bisa digunakan. Tak lupa monitor pun kuhidupkan. Akhirnya komputer siap dioperasikan.

Aku buka salah satu jejaring sosial yang sedang naik daun kala itu. Aku pun segera terhubung dengan situs yang bernuansakan biru di halamannya. Segera kutuliskan alamat email serta password sebagai syarat masuk untuk berinteraksi dengan teman di seluruh penjuru dunia.

“Ah, ada permintaan pertemanan,” ucapku setelah mataku menangkap tombol merah di pojok beranda.

Kulihat list permintaan tersebut. Mataku tertuju pada satu nama.

“Fitri? Ehm.., ah ya ini kan teman sekampungku” otakku mencoba mengingat.

Lalu, aku approve dia sebagai teman di facebook. Kebetulan saat itu Fitri sedang online.

“Siang, Makasih ya uda meng-add,” ucapku untuk memulai komunikasi dengannya.

“sama-sama bang, sudah mau menerima pertemananku”, balasnya dengan diakhiri sebuah gambar senyum emoticon. Semenjak itu kami lebih sering terlibat obrolan di dunia maya. Dari sekadar menanyakan kabar hingga saling membercandai satu sama lain.

Aku semakin sering memandang lamat-lamat wajahnya walau itu hanya lewat fotonya saja. Matanya yang kecoklatan, seperti memantik kekaguman dalam hatiku. Sungguh, perempuan ini telah membuatku jatuh cinta. Rasanya, walaupun wujud nyatanya berada ratusan kilometer dariku, tetapi aku merasa dia selalu hadir di setiap pagi menyapaku lembut. Terlebih semenjak ia memberi nomor teleponnya, hubunganku dengannya pun semakin dekat. Kami semakin sering teleponan dan smsan setiap harinya.

Semasa dikampung dulu, dia memang salah satu gadis kembang desa yang mempesona. Segala teduh kutemu pada bibirnya yang membiusku dengan seulas senyum. Aih, lesung pipinya selaksa pelangi yang merupa tujuh warna keabadian. Sungguh, dia adalah keajaiban. Sukar kutakar segala sabar untuk menaifkan seranum rindu yang tiba-tiba menggantung dalam tangkai jiwaku. Adakah aku mencintainya?

Entahlah, sepertinya sulit menafsirkan segala gejolak dalam batinku. Namun, sungguh tak dapat kutahan gelagak asa yang membuncah dalam dada. Sebab pesonanya telah menitah muasal hati untuk menghambur benih-benih cinta dalam remah-remah hati. Pesonanya telah mencipta rindu dalam senarai sanubari.

Hingga suatu hari, aku bertekad bulat untuk memberanikan diri nyatain perasaanku padanya. Sebetulnya bisa dibilang aku tidak begitu berharap ungkapan perasaanku akan berbalas darinya. Mengingat saat dikampung dulu pun kami tidak pernah dekat terlebih bertegur sapa, kami hanya kenal sebagai teman sekampung. Terlebih semenjak kami dekat akhir-akhir ini, tidak pernah sekalipun kami bertemu, karena dia di Padang, aku di Medan. Tentu sangat sulit baginya percaya bahwa cintaku tulus kepadanya. Itu sebabnya aku tidak begitu berharap cintaku akan berbalas darinya. Tapi niatku untuk mengetahui jawaban yang mengganjal hatiku tak terbendung lagi lah mengapa aku memberanikan diri nyatain perasaanku.

“Ehm, Fit, boleh bertanya sesuatukah?”

“Iya bang, apa? Kayaknya penting banget?” balasnya penasaran.

“Sebenarnya niat aku akhir-akhir ini perhatian padamu karena aku jatuh cinta amamu, rasa ini sudah lama ada semenjak aku kenal denganmu semasa mudika dulu” ujarku tanpa panjang lebar.

Satu menit, dua menit, kutunggu tak ada balasan. Hatiku jadi campur aduk, merasa lega telah menggungkapkan perasaan yang selama ini mengganjal dalam hati dan juga ada perasaan khawatir dia malah marah aku telah menggungkapkan apa yang selama ini telah memporak-porandakan hatiku.

Tetapi tiba-tiba, chattinganku di balasnya. Mulai kubaca isi pesan tersebut yang tidak lain dari sang bidadari.

“Ehm, jujur bang, sebenarnya Fitri juga suka sama abang, heehe,” jawabnya disertai senyum di ujungnya.

Hidungku yang tadinya agak mampat menunggu jawaban darinya kini terasa longgar membesar karena bahagia perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan.

Jujur, mulanya aku tak mengira, bahwa pertemuanku dengannya di dunia maya mampu membuat hatiku dengannya terpaut walau jarak kami dipisahkan dua kota, Padang dan Medan. Tetapi ternyata tak ada yang tak mungkin bagi-Nya. Tangan Tuhanlah yang bekerja untuk menghantarkan “perasaan” itu jauh menyusup ke dalam relung-relung hati meski jarak ratusan kilometer menjadi pembatas di antara kami.

Semenjak itu, hari-hariku seperti penuh dengan pelangi. Setiap hari kami penuh dengan pelangi. Setiap hari kami berbincang lewat dunia maya ataupun sms. Bahkan status hubungan kami di facebook pun, status pacaran dan terkadang berganti bertunangan. Walau hanya sebatas status di dunia maya. Heehe.

Dengan jemari lentikku, aku akan menanyakan kabarnya, atau sekadar mengirimkan untaian kata sebagai bentuk perhatian kepadanya. “Jangan lupa makan ya”, atau “Jaga kesehatan ya”. kalimat-kalimat semacam itulah yang sering terlontar dariku untuknya. Tetapi, bukan berarti kami tidak pernah bertengkar. Pernah sekali waktu aku tak mengirimkan sms padanya. Tanpa alasan yang jelas dia marah sejadi-jadinya. Dan sebaliknya, aku juga melakukan hal yang sama kepadanya saat dia tak membalas smsku. Lucu memang! Tetapi tak apalah, itulah yang membuat hubunganku dengannya memiliki arti.

Waktupun bergulir. Hingga suatu hari, sebuah kejadian membuat hubungan kami berubah 180 % menjadi hubungan yang tidak jelas. Semua bermula dari keenggananku berduaan dengannya. Waktu itu libur panjang kampus tiba. Ia pulang dan aku juga. Untuk sementara, kami tidak lagi dipisahkan oleh jarak. Selama dikampung, kami hampir tiap hari berpapasan namun tak sekalipun pernah berduaan untuk sekadar melepas rindu atau layaknya sepasang kekasih yang sedang diselimuti cinta.

Berkali-kali dia mengajakku untuk bertemu di suatu tempat atau sebaliknya aku mengajaknya untuk berduaan. Namun seringkali aku tidak pernah menepati janji. Bukan maksud hati untuk menghindar tapi hanya karena cintaku terlalu dalam padanya, hingga aku tak punya nyali untuk berduaan dengannya. Aku juga memiliki sikap malu yang terlalu tinggi bila harus berduaan dengan seorang gadis, terlebih gadis secantik dia.

Walau aku hanya dapat melihat matanya, namun kutemukan sebentuk keanggunan yang sukar kubahasakan dengan kata-kata. Debar rasa yang terkanvas dalam jiwaku inilah yang membuat kejantananku hilang entah kemana.

Perempuan mana yang tidak kesal, marah, kecewa dan menduga-duga bahwa cinta sang kekasihnya tidak tulus, karena seringkali ingkar janji dan satu kali pun tidak pernah berduaan melepas rindu sementara libur semester sudah hampir usai. Namun bukan sepenuhnya salahnya di aku sebenarnya. Kesibukan dia menjaga kedai orang tuanya hingga tengah malam menjadi kendala kami untuk bersama melepas rindu. Ia seringkali mengajak bertemu di rumahnya, sekaligus kedainya yang banyak pelanggan sedang nongkrong. Aku memang hampir tiap malam nongkrong di kedainya untuk sekadar minum tuak bersama teman-teman. Namun tak sekalipun ngobrol berduaan dengannya. Karena faktor segan terhadap orang tuannya dan juga malu terhadap teman-teman menjadi alasannya, naïf memang alasanku ini.

Fitri pun mulai berubah. Ia mulai jarang membalas sms, terlebih mengangkat telepon dariku. Dalam kondisi hubungan kami yang mulai retak, pihak ketiga pun muncul membumbuinya dengan rasa pedas yang menyakitkan. Sebut saja namanya Dedi. Lelaki inilah yang menjadikan hubunganku dengan Fitri semakin tak jelas. Ia terpesona dengan keanggunan pacarku. Ia pun mulai rajin nongkrong di kedainya dan mulai dekat.

Entah tahu dari mana dan dapat dari mana nomor hpku. Suatu hari Dedi pernah meneleponku dengan maksud untuk mengingatkan aku untuk tidak lagi menghubungi Fitri, karena mereka telah pacaran. Aku bingung dengan perkataan dia, sementara tak sekalipun ada kata putus yang terucap diantara aku dan Fitri. Memang waktu itu, Fitri sudah berubah dan mulai tak ramah lagi saat aku nongkrong di kedainya dan aku juga seringkali cemburu dibuatnya saat ia dekat dengan si Dedi.

“Jika memang dia mulai bosan, kenapa tidak ia sendiri yang menyampaikannya?” tanyaku dalam hati.

Namun sejak itu hubungan kami memang benar-benar tidak pernah kembali lagi ke masa-masa indahnya. Hubungan yang tidak jelas bentuknya, hingga detik ini tidak pernah terucap kata putus namun secara nyata telah putus karena ia telah mendapatkan kekasih baru di Bandung, tempat ia merantau selepas menyelesaikan kuliahnya. Hubungannya telah dua tahun dan tak lama lagi mereka akan menuju tahap yang lebih jauh, yaitu pernikahan. Sementara aku? Semenjak tak berhubungan lagi dia, pencarian cintaku penuh dengan lika-liku. Memang aku telah mampu membuang rasa malu-ku setiap kali berhadapan dengan wanita. Namun keberanianku malah kebablasan, aku malah serasa seorang lelaki penebar cinta.

Hidupku dipenuhi wanita, namun semua hanya cinta sesaat, tak ada yang setulus saat mencintai Fitri semasa pacaran dulu dengannya. Dan sebaliknya juga terjadi padaku, tak ada yang benar-benar tulus mencintaiku. Saat ini aku lagi pencarian tulang rusukku yang akan menemaniku saat senang dan susah, yang menerima segala kekurangan dan kelebihan yang aku punya dan sehidup semati denganku. Semoga saja aku menemukannya, seperti Fitri telah menemukan pendamping hidupnya.Selesai***

Cerita ini sengaja saya tuliskan atas permintaan Fitri yang akhir-akhir ini bernostalgia denganku. Tertawa bersama saat flash back kenangan masa lalu. Cerita ini belumlah sempurna dan banyak peristiwa-peristiwa yang tidak dituliskan. Karena hanya menyakitkan aku saja jika harus menuliskannya. Hahaha. Cerita ini ku persembahkan sebagai kado pernikahannya nanti. Selamat menempuh hidup baru mantanku, pacar dunia mayaku. Hahaha.


*Sumber Gambar* http://log.viva.co.id/news/read/359237-cara-aman-cari-pacar-di-dunia-maya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun