Dika duduk di antara ayah dan ibunya. Matanya berkaca-kaca, suaranya bergetar saat ia mulai bercerita.
Malam itu, di ruang tamu rumah sederhana mereka,"Ayah, Ibu... Aku merasa sedih melihat Paman. Beliau hidup serba kekurangan, tapi tetap saja membantu orang-orang di desa. Dia mengajarkan mereka cara bertani yang baik, merawat ternak, dan membudidayakan ikan. Sekarang, sawah mereka hijau subur, ternak mereka gemuk, dan ikan mereka melimpah. Tapi... mereka bahkan tak pernah peduli pada Paman."
Ayah menghela napas panjang, lalu berkata dengan nada datar, "Itu salah Pamanmu sendiri. Mau berbagi ilmu tapi tidak meminta imbalan. Hari gini berbagi ilmu gratis? Itu namanya bodoh."
Dika terkejut mendengar jawaban ayahnya. Ia menoleh ke ibu, berharap mendapatkan jawaban yang lebih menenangkan. Ibu tersenyum lembut dan mengusap kepala Dika.
"Nak, berbagi ilmu itu tidak membuat seseorang miskin. Justru, memberi manfaat kepada orang lain adalah amal yang baik."
"Tapi Bu, lihatlah Paman... Ia kekurangan, sementara mereka yang dia bantu malah hidup berkecukupan," sahut Dika dengan nada getir.
Ibu menatapnya penuh kasih. "Yang bodoh bukan Pamanmu yang berbagi ilmu, Nak. Yang bodoh adalah mereka yang mendapat manfaat tapi tidak peduli pada orang yang membantu mereka."
Dika terdiam. Ia mencoba memahami kata-kata ibunya. Ayah yang sejak tadi mendengar pun akhirnya bersuara, kali ini dengan nada lebih lembut. "Ibumu benar, Dika. Seharusnya, orang-orang yang sudah terbantu sadar dan ikut berbagi."
Dika termenung. Ia teringat bagaimana pamannya, Pak Rudi, selalu tersenyum meskipun hidupnya serba kekurangan. Sejak dulu, Pak Rudi tidak pernah menolak membantu siapa pun yang bertanya tentang cara bercocok tanam, merawat hewan ternak, atau membudidayakan ikan. Padahal, rumahnya kecil dan hampir roboh, pakaiannya lusuh, dan ia sering kali makan seadanya. Namun, senyum itu selalu ada di wajahnya.
Dika pernah mendengar percakapan para petani di desa. Mereka memuji hasil panen yang semakin melimpah, ayam dan sapi yang sehat, serta keuntungan yang mereka dapatkan. Tapi tidak satu pun dari mereka menyebutkan nama Pak Rudi. Seakan semua keberhasilan itu datang begitu saja, tanpa ada orang yang berjasa di baliknya.
Suatu hari, Dika melihat Pak Rudi duduk sendirian di depan rumahnya yang reyot. Tangannya yang kasar sedang memperbaiki kandang ayam yang mulai lapuk. Wajahnya tetap tenang, tapi Dika bisa merasakan kelelahan yang terpancar dari matanya.