Dalam upaya meningkatkan kualitas gizi anak sekolah, baik Indonesia maupun Jepang memiliki program makan siang yang bertujuan untuk memastikan anak-anak mendapatkan asupan gizi yang cukup. Indonesia dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Jepang dengan Kyushoku memiliki pendekatan yang berbeda, terutama dalam pelaksanaannya di daerah pedesaan. Dinarasikan dari paparan Rathma Soma - PPI Jepang pada forum Zoom Meeting yang diadakan pada Kamis, 30 Januari 2025.
1. Sistem dan Pengelolaan Program
Di Indonesia, program MBG dikelola oleh berbagai pihak, termasuk BUMDES, koperasi, UMKM, serta kementerian terkait seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, dan Kementerian Pertanian. Program ini menyediakan makanan bergizi yang terdiri dari nasi, protein, sayuran, buah, dan susu. Selain itu, ibu hamil, menyusui, serta anak balita yang mengalami stunting juga mendapatkan perhatian khusus dengan tambahan makanan dan suplemen gizi.
Sementara itu, Kyushoku di Jepang juga melibatkan banyak pihak, mulai dari petani lokal, koperasi, hingga pemerintah kota. Di daerah pedesaan Jepang, seperti Isumi, makanan yang disajikan hampir seluruhnya berasal dari hasil pertanian organik lokal. Pengelolaan makanan dilakukan secara ketat oleh dapur umum atau dapur sekolah yang memastikan setiap anak mendapatkan gizi yang seimbang.
Selain itu, dalam pengelolaan program MBG di Indonesia, dapur umum menjadi pusat produksi makanan yang terorganisir. Setiap dapur umum memiliki struktur kerja yang terdiri dari seorang manajer dapur, ahli gizi, akuntan, dan tenaga kerja lainnya yang bertanggung jawab atas produksi dan distribusi makanan. Hal ini serupa dengan sistem dapur umum di Jepang, di mana setiap dapur mampu melayani ribuan porsi makanan setiap harinya.
2. Sumber Bahan Makanan
Perbedaan utama antara MBG dan Kyushoku adalah sumber bahan makanan.
- Di Indonesia, sebagian besar bahan makanan masih bergantung pada impor, terutama susu yang 80% berasal dari luar negeri. Meskipun program ini berusaha memberdayakan petani lokal, tantangan dalam produksi bahan makanan lokal masih cukup besar.
- Di Jepang, khususnya di daerah pedesaan, hampir seluruh bahan makanan berasal dari sumber lokal dan organik. Beras, sayur, buah, dan susu diperoleh dari petani setempat, memastikan kualitas dan ketelusuran bahan makanan yang diberikan kepada anak-anak.
Selain itu, sistem pertanian di Jepang sangat mendukung ketersediaan bahan makanan lokal. Misalnya, anak-anak di sekolah pedesaan sering kali diajak untuk terlibat langsung dalam proses pertanian, seperti menanam dan memanen bahan makanan yang nantinya akan mereka konsumsi. Hal ini membantu menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pertanian dan gizi sejak dini.
3. Dampak Sosial dan Ekonomi
Program MBG di Indonesia tidak hanya memberikan manfaat bagi anak-anak tetapi juga memberdayakan masyarakat sekitar. Keterlibatan UMKM, petani, nelayan, dan koperasi membantu meningkatkan perekonomian desa. Dengan adanya dapur umum yang dikelola oleh tenaga ahli, termasuk ahli gizi dan manajer dapur, program ini juga membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar.
Sementara itu, di Jepang, Kyushoku juga memberikan dampak positif bagi perekonomian desa. Petani lokal mendapat pasar yang stabil, sementara sekolah menjadi pusat edukasi mengenai pentingnya makanan sehat dan sumber pangan. Anak-anak juga diajarkan tentang pertanian dengan cara langsung menanam dan memanen bahan makanan yang mereka konsumsi.