[caption id="" align="aligncenter" width="491" caption="google.com"][/caption] Siang itu matahari bersinar cerah menembus celah-celah pohon pinus.Gerah,dahaga serta suntuk di sekolah membuat pikiran menjadi seolah-olah terbakar disengat sinar ultraviolet dari matahari.Dengan tubuh lemas ku coba tuk cari warung makanan terdekat.
Tampak tak asing lagi Maya teman baik ku melintas di depan ku.Tidak terlihat kesegaran,keceriaan di wajahnya yang tampak masih muda.Ia bahkan tak peduli dengan keadaan disekitarnya.Ku coba tuk memanggilnya,tetapi dia seperti tak menyadarinya.Kemudian ku menghampiri dan memukul pundaknya. “Hey.. Bengong saja kamu!!”. Ujar ku.
Tak lama kemudian kami pun bercerita di bawah pohon pinus tadi.
“apa? Dia mati?!”
“Ya!!”
“benarkah?!”
“Ya!”
“Aku tak percaya”.
“Tapi kenapa kamu begitu tanpa ekspresi? Tidak sedih!”.
“Aku sudah capekbersedih.memang harus kuakui kenyataan ini.
“Kenyataan?!” ujar ku memotong perkataan maya.
“Ya,aku terlarut dalam frustasiku.yang aku sedihkan itu cara meninggalnya itu.Dia mencurahkan segala kekecewaannya ke dalam sebuah tulisan.Begitu pagi tiba,ibunya yang hendak membangunkannyamenemukannya terbujur kaku tak bernyawa lagi.Rupanya penyakit jantungnya tiba-tiba menyerangnya.Tulisannya itu tercecer di lantai kamar yang jadi saksi bisu kematiannya.
“Apa isi karangannya itu may??”
Tragis!!” Dia mengekspresikansemua kekecewaannya kedsalam tulisannya itu.
“Kekecewaan apa??” tanyaku semakin penasaran.
Karena lamarannya baru saja ditolak orang tuaku.Dia melamarku malam itu juga sebelum dia meninggal.mungkin semua keputusasaan nya ditumpahkan dan dibenamkan ke dalam tulisan-tulisannya itu.
“Alasan ortu mu menolaknya apa may??”
Mungkin karena dia hanya seorang pengarang.Dia hanya mengandalkan hidup dari menjual hasil karangan ceritanya ke majalah-majalah atau Koran-koran.Ijazah tamat belajarnya hanya terpampang di rak buku yang sudah usang dan lapuk.Padahalkarangan-karangannya yang ku baca begitu menarik dan bagus.Sayang ortu ku hanya melihatnya sebagai sampah dan kertas buram yang gak punya harga jual.
“Kenyataan pahit yang harus dipikulnya hingga mati.
“memang sungguh sangat menusuk jantung.Padahal pagi harinya yang sama,ortu ku memanggil ku dan hendak berbicara kepada ku.Dengan raut wajah penyesalan ibuku minta maaf kepada ku dengan meneteskan air mata.Mereka akhirnya merestui hubungan ku dengan pengarang itu.
Tanpa kusadari air mata menetes membasahi pipi ku.
Tak disangka,setelah beberapa jam kemudian,ketika hendak pergi menjumpainya,aku mendapat kabar dari ibunya bahwa pengarang yang bakal jadi calon suami ku telah meninggal dunia.Tanpa dapat berkata apa-apa jantung ku serasa ditikam pisaukecil.pedih,perih dan miris rasanya.kami sekeluarga terpukul sangat mendengarnya.terlebih-lebih orang tua ku.
“Sudahlah may!!” kataku memecah keheningan.
“biarkansemua berlalu dan liat kedepannya.
Matahari bersinar begitu teriknya ketika kami pulang ke rumah masing-masing.Cerita tadi seolah-olah menjadi santap siang ku karenansetelah mendengar cerinya tadi perut ku menjadi tak lapar lagi.Tapi hati kecil ku masih saja terpikir nasib pengarang itu. SUNGGUH TRAGIS!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H