Sekilas, tampangnya sangar seperti Rambo. Bagi yang sering berinteraksi dengannya, kesan hangat begitu terasa. Perangainya halus, sehalus hati seperti lirik lagu melankolis karya Rinto Harahap di masa jadul—jaman dulu. Kalau kekinian, mungkin seperti lirik lagu Kerispatih, atau D’Masiv. Surya Paloh, pemilik Media Grup dan juga Ketua Umum Partai NasDem memiliki intuisi tersendiri terhadap semua hal.
Dalam memberikan perlakuan pada setiap orang, pada setiap kolega, ataupun anak buahnya, Surya melakukan pendekatan berbeda. Demikian kata Derek Manangka, wartawan senior yang juga pernah bekerja di beberapa media milik Surya Paloh seperti Harian prioritas, Media Indonesia dan Majalah Vista dalam buku Surya Paloh Melawan Arus Menantang Badai karyanya.
Sebagai orang yang sering mendampingi setiap aktifitas usaha dan politik Surya Paloh, Derek dinilai cukup mengenal baik pria dengan ciri khas brewok lebat di wajahnya itu. Derek merasa ketika menjadi wartawan di lingkungan perusahaan Surya, tak selamanya dianggap sebagai wartawan independen. Tetapi ketidakindependenan itu tidak diambil dengan sikap pura-pura. Surya tidak mendukung seseorang tetapi dukungan itu juga bisa dia ubah manakala yang didukung tidak pantas (lagi) untuk didukung.
Keberpihakan media yang dimiliki Surya Paloh, sebuah keberpihakan yang dilakukan secara genuine.
Surya Paloh di mata Derek merupakan sosok yang layak disetarakan dengan para wartawan senior seperti Mochtar Lubis, BM Diah dan Rosihan Anwar—ketiganya sudah almarhum. Yang perlu diapresiasi adalah kepedulian dan komitmennya pada komunitas pers dan industri media. Tanpa diminta, secara tulus Surya sudah dan tetap memberi penghormatan dan apresiasi terhadap para wartawan yang lebih senior. Dalam catatannya, mereka, para wartawan lebih senior yang sudah diberinya kehormatan antara lain, Djaffar Assegaf (almarhum) dan Toeti Adhitama. Di luar mereka berdua, masih ada Nana Sutresna diplomat yang juga mantan wartawan “Antara”.
Nampaknya bagi Surya Paloh, profesi wartawan tidak mengenal istilah pensiun. Sehingga setiap wartawan yang masih ingin berkarya, sepanjang kemampuan dan kesehatannya menunjang, tak akan pernah dimintanya untuk pensiun, keluar dari grup media miliknya.
Djaffar Assegaf misalnya, sejak direkrut Surya di pertengahan tahun1990-an usai bertugas sebagai Duta Besar RI untuk Vietnam, menjadi karyawan atau wartawan senior di Media Indonesia grup, hingga akhir hayatnya di tahun 2003.
Bahkan Nana Sutresna (alm) pensiunan Dubes—sekembalinya dari London, juga diberinya status terhormat di lingkaran usahanya. Almarhum Nana Sutresna, memang pernah berkarir sebagai wartawan (Antara) sebelum bergabung dengan Departemen Luar Negeri RI. Dan ketika Surya Paloh menerbitkan buku Gerakan Non Blok (GNB) di tahun 1995, Nana Sutresna merupakan diplomat senior yang banyak membantu proses pengumpulan data bagi buku “The nonaligned Movement, Towards the Next Millenium”.
Perlakuannya terhadap wartawan, terutama media di lingkungan usahanya yang cukup terukur, melahirkan rasa percaya diri bagi para wartawan itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H