Mohon tunggu...
Surya R. Labetubun
Surya R. Labetubun Mohon Tunggu... -

Perempuan penikmat buku dan kopi level pemula. Seorang pecinta hujan dan hitam garis keras.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Demi Sepotong Garis

12 Januari 2015   05:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:20 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Demi sepotong garis yang di dalamnya tertata rapi segerombolan prajurit titik. Aku bersumpah untuk parasmu yang menawan. Tak pernah ku penuh penghayatan dalam mengukir setiap potong wajah seperti ini. Lebih dari sebuah profesionalitas. Aku selalu mencinta dan dicintai untuk setiap ulasan kuasku. Pada setiap goresan pensilku.

Untukmu. Aku dikhianati beribu garis. Mereka dengan suka rela menari, berbaris, lalu menari lagi di kertas putih ini. Tak jarang ku temukan mereka saling berbisik, sembari menatapku dengan sinis. Fatalnya, beberapa dari mereka memutuskan hengkang dari kanvasku. Kesal aku dibuatnya. Ketidakpatuhan mereka membuatku berutang waktu padamu. Sketsa wajahmu sudah tertunda untuk sekian hari.

Pensil dan penghapusnya pun sudah berapa hari hilang. Tak ada kabarnya. Burung dan angin pun kehilangan jejak mereka. Padahal, biasanya saat mereka ingin kencan. Aku akan diberitahukan. Lebih tepatnya mereka meminta izin padaku. Tentunya tidak di akhir pekan. Sabtu dan minggu adalah hari untuk meraup uang sebanyak-banyaknya. Setelah itu kami akan berpesta pora di kamarku dengan koin-koin itu. Membiarkan Nirvana memenuhi telinga kami. Memesan sekotak pizza. Membeli beberapa kaleng minuman bersoda. Aku tidak begitu suka alkohol. Mereka hanya merenggut kesadaranku. Aku selalu butuh kesadaranku, karena imajinasi bisa datang kapan saja. Seperti malaikat pencabut nyawa yang tak pernah diketahui berita kedatangannya. Horor memang.

Lantas, aduh. Kemana perginya kertas putihku itu. Sudah setengah parasmu ku toreh di dalamnya. Meski masih dalam guratan kasar. Tapi, pesonamu mengalir tanpa bisa dibendung. Meluap sejadi-jadinya. Merembes hingga ke pelupuk mataku. Yang bahkan hanya dengan menatap hasil sketsa setengah jadi itu. Aku sudah jatuh cinta untuk kesekian kalinya. Acap kali ketika ku tatap dirimu. Engkau mengerlingkan mata indahmu itu. Sungguh ciptaan Tuhan yang indah. Engkau memiliki mata coklat yang menenangkan, sekaligus menggairahkan. Seteduh tatapan hangat sang bunda. Semenggairahkan tatapan Nicholas Cage. Jatuh pingsan dan jatuh cinta aku pada mata itu.

Dan hei, apalagi. Kini secarik kertas yang engkau bubuhi nomor teleponmu pun lenyap tanpa jejak. Kutukan macam apa ini. Bertahun-tahun dan beberapa kali aku mencinta. Tak pernah aku sekesal dan seteledor ini. Jangan-jangan aku dikutuk oleh perempuan-perempuan yang juga sedang mendambamu. Oh tidak. Duhai perempuan di luar sana. Percayalah. Aku adalah seseorang yang tak akan sanggup memilikinya. Satu-satunya yang bisa ku miliki darinya hanya memori tentang wajahnya. Selembar fotonya dan kertas berisi sketsa belum jadi. Juga setitik peluang bertemu lagi dengannya. Tenang perempuan. Dia tak mungkin menghindar menemuiku. Dia mesti mengambil hasil coretan tanganku. Juga untuk memberiku lembar-lembar bergambar pahlawan untukku. Dapurku wajib mengepul. Meski hatiku kepal-kepul oleh tatapannya.

Seberkas Pagi
Demi sepotong garis. Untunglah. Bangun kali ini adalah bangun yang paling terberkati. Kertas putihku masih ada di peraduannya. Secarik kertas yang berisi nama dan nomor teleponmu pun masih meliuk-liuk manja di notebook-ku. Pensil dan penghapus sedang menikmati sunrise yang meng-orange-kan kamarku. Garis dan titik pun ternyata tak berkhianat padaku. Setibanya aku di tempat mereka. Mereka bahkan menarik-narik ujung baju tidurku. Memaksaku untuk segera menuntaskan gambaran wajahmu. Katanya mereka sudah jenuh hanya untuk mengisi kertas itu saja. Mereka menuntut pengalaman baru di kertas dan lekukan gambar yang lain.

Dan, seberkas pagi ini betul-betul pagi yang terberkati. Setelah menyelesaikan sarapanku. Hanya butuh kurang dari 120 menit. Wajahmu tuntas di kertas putihku. Leganya. Aku pun menelponmu. Mengabari tentang utang waktu yang akhirnya bisa ku lunasi. Parahnya, tak hanya matamu saja yang memesona. Suaramu pun mengambil jatah yang sama. Mungkin aku butuh pingsan sejenak sesaat setelah mengakhiri pembicaraan kita di telepon. Tapi aku lebih memilih menegak 2 cangkir ukuran sedang kopi hitam. Yah, aku butuh kafein. More and more. Seberkas pagi ini terberkati sekaligus menggilaiku.

Demi sepotong garis. Meski sketsa telah sampai di tanganmu. Bahkan sudah tak ada lagi kewajiban untuk saling bertegur di telepon. Sudikah engkau bertukar sapa? Karena bahkan bertukar sapa denganmu sama dengan mengecap secangkir manisnya kebahagiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun