Saya kenal Yadi di SMUN 30 Jakarta. Tapi, usai lulus tahun 1988, tak lagi bertemu. Saya berlari mengejar mimpi. Yadi asik dengan petualangannya. Tujuannya sama. Hanya jalan yang berbeda. Tapi, sama-sama positif.
Saya menyebut sepak terjangnya: 'politik lokomotif'. Karena dia suka numpang kereta. Itu dulu. Masa remaja. Dia juga sebagai 'peta bumi'. Tahu persis nama jalan. Bukan hanya di Jakarta. Bahkan di Pulau Jawa.
"Sabar, sebentar lagi kereta barang lewat. Siap-siap," tutur Yadi ketika kami keluyuran dari Jakarta-Bali semasa remaja.
Tapi, saya tidak tahu kalau diam-diam dia merekam sesuatu. Dari hobinya bonceng mobil (truk) hingga kereta. Tempat-tempat beraroma bisnis. Dari sana kini dia petik hasilnya.
"Itu salah satu modal saya bisa seperti sekarang ini. Alhamdulillah. Saya tahu jalan dan tidak takut pergi sendirian," ujar Yadi.
Dia pernah ditawari mengurus perusahaan percetakan saudaranya. Tapi, ditolak mentah-mentah. "Cita-cita saya jadi pengusaha. Bukan pekerja," ungkapnya.
Tapi, uniknya dia tidak ambil jurusan ekonomi (A3) saat SMA. Justru memilih Fisika (A1). Berlawanan arah dengan bakatnya. Dia sempat kendalikan percetakan orang tuanya. Tapi, gulung tikar terkena krisis moneter 1998.
Yadi banting setir dengan main gula. Bahkan, menguasai Depok. Pemain gula yang bertahan di Depok sampai sekarang ada 4 orang. Tapi, semuanya Yadi yang suplai. Dia mengambil dari Bulog dan petani gula.
Ini garis tangan. Tapi, ada peran Tangan Tuhan. Yadi selalu berdoa. Sehabis solat. Bukan hanya 5 waktu. Tapi juga solat sunnah. Salawat. Dia selalu memohon petunjukNya. Penuh kesabaran.
Dari sinilah dia ketemu bisnis baru. Tidak sengaja. Yadi beli mobil kijang kapsul seharga 50 juta. Dipoles sedikit, bisa terjual dua kali lipat. Seterusnya. Jual beli mobil. Tapi, gula tetap main. Cari uang seminggu Rp50 juta baginya tidak sulit.
Yadi seperti ketiban durian runtuh. Tiba-tiba dipanggil Bulog. Dia diminta siapkan 50 ribu butir kelapa. Tanpa pikir panjang Yadi menyanggupi. Deal...! Modal nekat.