Saya mengenal kereta api saat saya berumur 6 tahun. Salah satu wajah kereta api ekonomi yang saya kenal kala itu adalah kendaraan besi yang begitu panjang dan dinaiki banyak orang, yang berdesak-desakan berebut tempat duduk, bersama dengan pedagang kaki lima, pengamen, bahkan copet. Hiruk pikuk mereka saat kereta api akan berangkat terasa begitu riuh terdengar. Namun, seiring kereta api berjalan, Â riuh pun mereda. Para penumpang mulai beradaptasi dengan udara yang panas, tempat yang berdesakan, bahkan aroma tubuh yg beraneka ragam. Semua mulai nyaman dengan tempatnya masing-masing.
Sikap "ramah satu sama lain" menjadi perilaku normal kala itu. Baik dengan memberi senyum, berkenalan, bertukar cerita, atau menggeser badan sedikit untuk memberikan tempat bagi anak kecil yang berpeluh dan tertidur pulas, yang sedari tadi digendong ibunya seraya mengipas-ngipas. Ada pula yang menggeser badannya untuk memberikan tempat duduk bagi penjual yang berpeluh, yang sedari tadi berdiri sambil membopong dagangannya yang sekarung. Hal-hal itu seakan ingin mengutarakan bahwa udara panas, tempat yang berdesakan, bahkan aroma tubuh yg beranekaragam tidak masalah selama mereka bisa menyingsingkan senyum dan sekecil kelegaan bagi orang lain. "Yah, namanya juga kereta ekonomi, Nduk. Yang penting sampe tujuan dan murah", kata seorang ibu saat anaknya mengeluh tentang panasnya udara di dalam kereta.
Seiring dengan perkembangan zaman, wajah kereta api ekonomi pun sudah mulai berubah secara signifikan. Kenyamanan dan keamanan penumpang tidak sama lagi seperti dulu. Keberadaan AC dan kebersihan, petugas keamanan, pelayan KA yang ramah menjajakan makanan atau minuman, toilet yang bersih dan wangi, semua menjadi wajah familiar yg terlihat di setiap gerbong Kereta Api Indonesia, termasuk kelas ekonomi.
Saya pribadi sebagai seorang penumpang, tentunya sangat senang untuk setiap kenyamanan perjalanan kereta api yang sudah dinikmati bertahun-tahun. Kenyamanan yang melarutkan setiap penumpang dalam merasakan pelayanan perjalanan terbaik di setiap rutenya.
Namun, saat kereta api sudah menunjukan wajah ramah ke-Indonesia-annya, sudahkah kita sebagai penumpang juga mempertahankan wajah ke-Indonesia-an itu? Wajah murah senyum yang memberikan keramahan bagi orang lain? Wajah yang seakan ingin mengutarakan bahwa dinginnya AC, tempat yang lega, juga kebersihan yang layak  tidak membuat kita larut akan kenyamanan diri sendiri dan masih bisa menyingsingkan senyum dan sekecil kenyamanan bagi orang lain? Karena bagaimanapun juga, kita satu rumah. Kita, Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H