Mohon tunggu...
Suryan Nuloh Al Raniri
Suryan Nuloh Al Raniri Mohon Tunggu... Guru - Pengawas Sekolah

Penulis dan Conten Creator

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dilema "Cleansing" Guru Honorer, Solusi atau Masalah

28 Juli 2024   10:28 Diperbarui: 28 Juli 2024   10:30 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang guru sedang menuntun murid (diolah dari Canva)

Guru honorer memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Mereka mengajar sesuai dengan panduan yang tertuang dalam dokumen 1 kurikulum satuan pendidikan. Bahkan jumlah jam mengajar guru honorer sama dengan guru yang berstatus pegawai negeri. Kalau berbicara dedikasi dan loyalitas jangan ditanya lagi. 

Guru honorer yang berada di satuan pendidikan jumlahnya banyak, mereka digaji dengan kemampuan sekolah dan pemerintah daerah. Itupun digajinya masih dibawah upah minimum regional (UMR). Apalagi guru honorer yang belum memiliki gaji tetap, mereka dibayar per jam pelajaran. Dengan adanya guru honorer, kegiatan belajar mengajar di sekolah jadi terbantu. Tidak ada lagi kelas yang kosong dan pemenuhan jam mengajar jadi merata. Baik itu sekolah di kota maupun sekolah terpencil. 

Sekarang muncul kebijakan yang sedang ramai diperbincangkan yaitu "cleansing" guru honorer. Merujuk pada kata cleansing artinya membersihkan, sehingga kalau cleansing guru honorer berarti membersihkan guru honorer secara massal alias menyeleksi secara ketat terhadap guru-guru honorer. Hal ini bertujuan untuk merampingkan struktur kepegawaian, meningkatkan kualitas pendidikan dan mengefisienkan anggaran pemerintah. 

Tentunya ketika suatu kebijakan akan menimbulkan dampak yang terasa bagi guru honorer. Mereka akan secara sistematis terdepak dari satuan pendidikannya, sehingga kestabilan guru tidak akan merata. Sekarang saja antara guru disekolah kota dan sekolah pinggiran sangat jomplang perbedaannya. 

Perekrutan guru yang ditugaskan ke pelosok tidak bertahan lama. Hanya bertahan 2 tahun sudah mengajukan mutasi ke sekolah di kota atau dekat tempat tinggalnya. Selain itu dampak yang terjadi yaitu ketidakpastian akan jenjang karirnya untuk masa depan. Guru honorer dipandang sebelah mata, padahal pendidikannya sama dengan guru negeri yaitu harus berijazah sarjana. 

Kalau selama ini alasannya kualitas guru honorer yang rendah, alangkah baiknya mereka diberikan pelatihan pengembangan profesi, permudah mengikuti pendidikan profesi guru (PPG) dan naikkan status kepegawaiannya menjadi pegawai dengan perjanjian kontrak (PPPK) yang selama ini sudah dilaksanakan oleh pemerintah. Tentunya dengan kebijakan yang manusiawi akan memanusiakan guru sebagai profesi yang mulia. Guru sejahtera sebanding dengan pendidikan maju. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun