Posko Rumah Biru. Begitu kemudian kami menyebutnya. Sebuah rumah cukup luas bewarna biru cerah yang menjadi tempat aman sementara bagi teman-teman kami. Ya, tempat aman sementara dari rasa takut bila genangan air terus meninggi. Tempat aman sementara dari rasa resah karena listrik nan padam entah sampai kapan.Â
Tempat aman sementara dari rasa khawatir akan kelaparan karena ketiadaan bahan makanan. Posko rumah biru. Begitu kemudian kami menyebutnya. Rumah nan menghangatkan penghuninya dengan empati dan solidaritas nan terus menyala.Â
Maret 2024. Di antara hiruk pikuk kunjunganku di dua perusahaan di Pulau Belitung, resah pun hadir karena berita banjir yang mengepung kota kami, Semarang. Banjir kali ini rupanya bukan banjir biasa. Hampir seluruh sudut kota tergenang. Alarm bahaya karena air yang terus bertambah bagai terus berbunyi lantang. Satu demi satu area listriknya dipadamkan. Toko dan warung tutup. Ekonomi mungkin nyaris lumpuh. Evakuasi demi evakuasi pun terjadi.Â
Usai memastikan rumah aman, maka fikiranku pun dirisaukan dengan kondisi mereka semua : kawan juga adik-adikku di kantor. Apa kabar mereka? Baik-baik sajakah? Tak perlu lama, satu per satu pun kabar mereka sempurna merebut fokusku. Bila malam itu semuanya nyaris baik-baik saja, maka tidak demikian saat esok hari datang.Â
Ya, hatiku pilu mendengar tempat kost mereka tergenang air cukup tinggi. Listrik nan padam nyaris memutus komunikasi. Toko dan warung nan tutup membuat mereka kehabisan bahan makanan. Apa yang bisa kulakukan sebagai seorang kawan dan kakak dengan jarak nan jauh membentang?
"Kita semua adalah keluarga. Ya, tidak hanya kawan yang kebetulan mengerjakan projek nan sama. Maka bila anggota keluarga kita ada yang sakit, kita semua pun merasa sakit. No One Left Behind. Dekap erat-erat prinsip ini dimanapun dan kapanpun berada. Dukung dan jaga semua anggota keluarga kita."
Kalimat yang selalu ku ucapkan di hadapan mereka selama ini rupanya bukan hanya masuk telinga kiri lantas keluar telinga kanan. Kalimat itu nyatanya telah menjadi prinsip yang tumbuh mengakar kuat di hati masing-masing membentuk simpul solidaritas dan kekompakan.
Maka lihatlah, tak perlu waktu lama bagi mereka untuk membentuk tim evakuasi seperti pintaku. Ya, sama cepatnya ketika dulu mereka membuat satgas covid di internal projek kami saat pandemi. Arahanku saat itu bukanlah penugasan profesional. Bukan. Mereka berhak memilih sikap lain demi keamanannya dalam kondisi seperti itu. Tapi penugasan sukarela itu nyatanya disambut seperti biasa : sepenuh hati dan diatas ekspektasi. Mereka bergerak atas nama solidaritas bagai deru angin yang kencang dan lantang.
Maka lihatlah, ketika satu demi satu dari mereka membagi tugas demi membantu teman-temannya. Tanpa perlu berfikir lama, seseorang merelakan beberapa kamar di rumahnya menjadi tempat aman sementara. Ya, rumah cukup luas dengan pemilik nan ramah yang kemudian kami sebut posko rumah biru. Bagaimana membawa teman-teman yang terjebak di area genangan air tinggi menuju posko rumah biru?Â
Maka saksikanlah ketika mereka tanpa berfikir lama merelakan mobil juga motor pribadinya untuk menjemput teman-teman mereka. Satu demi satu mereka evakuasi, mereka jemput dengan empati tinggi. Ah, sayangnya tak semua lokasi bisa dijangkau dengan aman. Maka lihatlah ketika mereka tak henti menghubungi tim sar, para relawan, demi memperoleh akses perahu karet. Mereka tak bergeming meski satu demi satu yang mereka hubungi tak memperoleh hasil.Â
Dan di tengah hiruk pikuk proses evakuasi itu, beberapa orang di antara mereka memberikan waktunya untuk pergi belanja. Mereka menembus hujan, melawan takut kalau-kalau harus menerjang genangan tinggi, demi rasa kenyang teman-temannya yang akan tinggal sementara di Posko Rumah Biru. Â Tidak ada rasa terpaksa. Mereka melakukan semuanya dengan ringan hati. Mereka melakukannya dengan senyum sepenuh hati. Sungguh menyaksikan semua itu sukses membuat hati mengembun haru.