Disela-sela kerja pengorganisasian, saya dan beberapa kawan aktifis perempuan biasanya sharing tentang permasalahan sehari-hari. Dari sharing tersebut, kami berharap lahir sebuah solusi yang membumi. Ya, minimal melahirkan ‘kesadaran’ untuk lebih bijak dan proporsional dalam menghadapi suatu masalah. Kali ini topiknya tentang KECANTIKAN.
Tema KECANTIKAN tadi, sebenarnya tidak direncanakan. Tidak tahu kenapa, tiba-tiba muncul saat seorang kawan nyeletuk, “para aktifis tuh, kalau sudah mulai ngomong- kelihatan deh cantiknya”. Kalau ungkapan tadi, kemudian dijadikan standart nilai bagi para aktifis, menurut saya, itu sah-sah saja. Relatif, mungkin istilah yang tepat untuk menafsirkan ‘kecantikan’. Justru saat ini, sudah saatnya para perempuan berani memberikan penafsiran sendiri tentang kecantikan.
Redefinisi nilai kecantikan, menjadi hal yang sangat urgen. Sebagaimana kita ketahui, kapitalisme yang memandang segala sesuatu bernilai sejauh ia mempunyai peran sebagai alat untuk mengakumulasi kapital- telah mereduksi makna kecantikan hanya sebatas physical belaka. Tidak ada pertimbangan aspek-aspek kerohanian, menyangkut perasaan, pikiran dan spiritualitas.
Skenario kapitalisme adalah menempatkan perempuan sebagai salah satu alat produksi. Melalui media, pencitraan kecantikan diarahkan untuk mendikte perempuan menjadi ideal dan modern dengan produk-produk kecantikan yang ditawarkan. Dengan pencitraan cantik itu berkulit putih, berambut lurus, bertubuh langsing, berbetis indah dan tidak berjerawat, secara otomatis perempuan harus menggunakan produk-produk yang dapat menghasilkan ‘kecantikan’ tadi.
Efek reduksi makna kecantikan yang dilanggengkan oleh kapitalisme ternyata sangat merugikan perempuan. Perempuan mulai mengidentifikasi dirinya dengan bintang-bintang iklan, sinetron, film, model. Yang terakhir, bahkan dikemas oleh sebuah stasiun TV swasta dalam tayangan yang bertajuk ‘Indonesian Model’. Dengan intensitas jam tayang yang hampir setiap hari, Indonesian Model sangat besar andilnya dalam melanggengkan makna cantik ala kapitalisme.
Kemudian perempuan mulai tidak nyaman dengan tubuhnya sendiri, tidak merasa puas, karena citra cantik yang dibentuk oleh kapitalisme. WOLF mencatat, terjadi diskriminasi dalam pekerjaan atas dasar kriteria cantik. Dalam iklan lowongan pekerjaan, dengan mudah kita akan menemukan syarat “wajah atau penampilan menarik”. Belum lagi keharusan mengenakan rok pendek di tempat-tempat kerja tertentu.(Kompas, 14 okt 2002).
“Lalu mustinya gimana?”, pertanyaan seorang kawan bernada pesimis. Julia Suryakusuma mengatakan bahwa kita tidak bisa menghapuskan kapitalisme yang sekarang menjadi satu-satunya ideologi yang terbukti bertahan. Tetapi, kita bisa bersikap kritis terhadap ideologi itu, dan terhadap citra kecantikan ‘ideal’ yang selalu dan akan terus akan disebarkannya.
Ya, banyak cara menjadi cantik yang sejati. Terus mengenali potensi diri, mengembangkan dan membaginya kepada sesama. Personal Selling – mengatakan kepada orang lain bahwa saya mampu dan menguasai. Mungkin ada baiknya kita simak sebuah slogan dari salah satu radio female di Jogja, “Tunjukkan citra perempuan melalui kepribadian, bukan sekedar penampilan”. Sekali lagi mempermasalahkan fisik adalah hal yang tidak adil. Bagaimana tidak, karena tak pernah ada konsensus antara Tuhan dan manusia tentang fisik seseorang. Dengan kata lain, fisik adalah sesuatu yang sudah pasti dari ‘sono’nya.
Bagaimana dengan anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H