Kasus penganiayaan oleh senior terhadap junior di SMAN 70 Jakarta telah mencuri perhatian publik dan menjadi potret kelam dunia pendidikan di Indonesia. Peristiwa ini bukan hanya mencerminkan lemahnya pengawasan di lingkungan sekolah, tetapi juga mengindikasikan masalah budaya yang perlu diatasi secara sistematis. Budaya senioritas yang mengakar di sejumlah sekolah sering kali menjadi alasan di balik kasus-kasus seperti ini. Senior merasa memiliki otoritas untuk mendominasi junior dengan alasan "tradisi" atau "pendidikan mental". Padahal, budaya seperti ini justru menciptakan lingkungan yang tidak sehat, penuh tekanan, dan menormalisasi kekerasan.
    Di SMAN 70 Jakarta, kasus ini menunjukkan bahwa bentuk senioritas telah melewati batas kewajaran. Penganiayaan fisik bukanlah bentuk pendidikan, melainkan pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Ketika hal ini dibiarkan, korban tidak hanya mengalami trauma fisik tetapi juga mental yang berkepanjangan.Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman bagi siswa untuk belajar dan berkembang. Namun, kasus ini mengungkap celah dalam sistem pengawasan sekolah terhadap interaksi antarsiswa. Guru dan pihak sekolah harus lebih proaktif dalam menciptakan budaya inklusif dan aman.
Selain itu, orang tua memiliki peran penting dalam mendidik anak-anak mereka untuk menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Anak-anak perlu diajarkan untuk menghormati sesama tanpa memandang usia, status, atau posisi. Kasus ini seharusnya menjadi pengingat bahwa tindakan kekerasan di sekolah tidak boleh dianggap remeh. Penegakan hukum yang tegas perlu diterapkan untuk memberikan efek jera kepada pelaku. Selain itu, sosialisasi tentang dampak negatif kekerasan harus ditingkatkan, baik melalui kegiatan di sekolah maupun kampanye nasional.
    Insiden di SMAN 70 Jakarta seharusnya menjadi titik balik untuk menghapus budaya senioritas yang berlebihan di sekolah-sekolah Indonesia. Pemerintah, sekolah, dan masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih manusiawi dan berorientasi pada pengembangan karakter positif.Pada akhirnya, pendidikan bukan hanya soal transfer ilmu, tetapi juga soal pembentukan nilai-nilai moral dan etika. Kita tidak bisa membiarkan masa depan generasi muda kita rusak oleh budaya kekerasan. Semoga kasus ini menjadi awal dari perubahan besar yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H