Mohon tunggu...
Suryani Amin
Suryani Amin Mohon Tunggu... -

Penyuka jalan jalan dan tulisan tentang perjalanan. Sosiolog, bekerja sebagai Konsultan untuk Adaptasi Perubahan Iklim di lembaga bantuan pembangunan Internasional di Jakarta. Menulis fiksi dan mendokumentasikan perjalanan adalah minatnya diluar pekerjaan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kejujuran dalam Sebungkus Barongko

5 April 2017   16:57 Diperbarui: 6 April 2017   07:00 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Membaca “Filosofi Barongko”  oleh Chitra Rosalyn , 2016

Dalam delapan cerita , Chitra menjalin kisah.    Meskipun masing-masing berdiri sebagai bagian yang terpisah,  berporos pada ide yang sama, tentang cinta  laki-laki dan perempuan .  Hanya saja, meski diklaim sederhana, sesungguhnya kompleks. Seluruhnya melibatkan  hubungan romantika melampaui  norma   arus  utama    tentang etika, tentang  apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, salah atau benar.  Selalu ada tokoh dalam cerita yang terlibat dalam relasi asmara  dengan laki-laki  beristri atau sebaliknya.  Juga   hasrat seksual  yang ditulis samar dengan malu-malu oleh penulis . Mungkin penulis tidak bermaksud   permisif  atas perilu demikian  , namun sekedar menyampaikan    fenomena cinta usia matang.  Disangkal atau tidak,  begitulah adanya.  Kemudahan komunikasi  era digital memberi peluang membangun hubungan diluar “kewajaran”.

Gaya berceritanya masih khas Chitra yang saya tahu. Seperti pada kumpulan puisi yang saya baca sebelumnya.  Kalimat -kalimatnya selalu  menyimpan energi.   Seperti ditulis dengan  gairah  meletup-letup. Selayaknya nafas kehidupan urban yang dinamis  yang jadi setting cerita.    Gaya hidup  dewasa kelas menengah semisal  rendezvous di kafe,   ketertarikan pada simbol-simbol  kemapanan, cara pandang terhadap seks dan seksualitas,  cara komunikasi  dan pertemuan kembali teman-teman lama , sungguh  adalah  karakter kaum urban.

Lewat tulisan-tulisan di buku ini, Chitra   menyisipkan  kesukaaannya pada    ungu, barongko atau  Thai tea. Dipakai  sebagai simbol   yang  sarat  makna.   Lewat delapan kisah, Chitra menyodorkan ruang kontemplatif  dan  banyak pertanyaan retorik. Sekali lagi bukan tentang salah atau benar. Tapi kejujuran tentang  pikir dan rasa yang seringkali tempatnya  di ruang sunyi . Tidak nyata pada ekspresi. Lewat karakter Milly misalnya  yang bertarung antara   hanyut bersama rasa atau   bertumpu pada nalar. Pada akhirnya tidak satupun yang dimenangkan diantara keduanya.

Di banyak cerita dalam buku, Chitra menggantung akhir cerita. Ia membiarkan  pembaca tidak mendapatkan klimaks yang diinginkan.   Perihal yang wajar. Karena tidak selalu ada  akhir cerita yang menyenangkan  dan tuntas untuk  relasi cinta. Apalagi untuk jenis  yang  ditolak norma kebanyakan.  Banyak cerita berujung  pada kesimpulan yang diciptakan tokohnya sendiri .    Chitra membantu mempertegas dengan kutipan yang ia ciptakan.

“Jangan lancang, menyisihkan pikirmu tentangku, kau hanya kuijinkan untuk merindu bisik matahari pada hujan sore tadi. Rindulah saja... Karena peluk kita adalah pelangi, lalu lepaskan. Cukuplah dengan merindu, cumbui  pelanginya lalu tepikan peluk kita” (Cerita harus Usai)

Membaca cerita dalam buku ini seperti tidak sabar menapaki  satu demi satu cerita. Hanya saja,  pada paruh terakhir,   kesamaan pola cerita  sudah  terasa. Akhirnya melamban,  ibarat  menuang  terlalu banyak garam berulang-ulang dalam satu menu.    

Tapi, pada akhirnya, saya harus bilang bahwa  sebagai   kaum baper, tulisan Chitra mewakili konten yang ingin saya baca.  Untuk itu saya musti berkeras menyatakan bahwa tidak ada yang salah menjadibaper.  Karena dunia yang beradab dibangun tidak saja oleh beton yang dikalkulasi secara matematis, namun oleh  rupa-rusa emosi  didalamnya.  Sebagai akademisi, Chitra  bukan model yang lazim. Ia membiarkan sebagian  isi kepalanya bermain-main dengan  ilusi , dan mungkin kombinasi sedikit pengalaman rasanya.   Ia pengajar yang “kaya”.  Karenanya, saya mendukungnya mengabaikan kritik terhadap karyanya yang dianggap tidak  ilmiah. Seperti yang dituntut kaum kebanyakan  kepada cendekia  Toh karya sastra tidak diciptakan untuk  dinilai pemenuhan kaidah ilmiahnya. Sesederhana ungkap  Chitra “cukup pakai rasa” . (one')

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun