Membaca “Filosofi Barongko” oleh Chitra Rosalyn , 2016
Dalam delapan cerita , Chitra menjalin kisah. Meskipun masing-masing berdiri sebagai bagian yang terpisah, berporos pada ide yang sama, tentang cinta laki-laki dan perempuan . Hanya saja, meski diklaim sederhana, sesungguhnya kompleks. Seluruhnya melibatkan hubungan romantika melampaui norma arus utama tentang etika, tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, salah atau benar. Selalu ada tokoh dalam cerita yang terlibat dalam relasi asmara dengan laki-laki beristri atau sebaliknya. Juga hasrat seksual yang ditulis samar dengan malu-malu oleh penulis . Mungkin penulis tidak bermaksud permisif atas perilu demikian , namun sekedar menyampaikan fenomena cinta usia matang. Disangkal atau tidak, begitulah adanya. Kemudahan komunikasi era digital memberi peluang membangun hubungan diluar “kewajaran”.
Gaya berceritanya masih khas Chitra yang saya tahu. Seperti pada kumpulan puisi yang saya baca sebelumnya. Kalimat -kalimatnya selalu menyimpan energi. Seperti ditulis dengan gairah meletup-letup. Selayaknya nafas kehidupan urban yang dinamis yang jadi setting cerita. Gaya hidup dewasa kelas menengah semisal rendezvous di kafe, ketertarikan pada simbol-simbol kemapanan, cara pandang terhadap seks dan seksualitas, cara komunikasi dan pertemuan kembali teman-teman lama , sungguh adalah karakter kaum urban.
Lewat tulisan-tulisan di buku ini, Chitra menyisipkan kesukaaannya pada ungu, barongko atau Thai tea. Dipakai sebagai simbol yang sarat makna. Lewat delapan kisah, Chitra menyodorkan ruang kontemplatif dan banyak pertanyaan retorik. Sekali lagi bukan tentang salah atau benar. Tapi kejujuran tentang pikir dan rasa yang seringkali tempatnya di ruang sunyi . Tidak nyata pada ekspresi. Lewat karakter Milly misalnya yang bertarung antara hanyut bersama rasa atau bertumpu pada nalar. Pada akhirnya tidak satupun yang dimenangkan diantara keduanya.
Di banyak cerita dalam buku, Chitra menggantung akhir cerita. Ia membiarkan pembaca tidak mendapatkan klimaks yang diinginkan. Perihal yang wajar. Karena tidak selalu ada akhir cerita yang menyenangkan dan tuntas untuk relasi cinta. Apalagi untuk jenis yang ditolak norma kebanyakan. Banyak cerita berujung pada kesimpulan yang diciptakan tokohnya sendiri . Chitra membantu mempertegas dengan kutipan yang ia ciptakan.
“Jangan lancang, menyisihkan pikirmu tentangku, kau hanya kuijinkan untuk merindu bisik matahari pada hujan sore tadi. Rindulah saja... Karena peluk kita adalah pelangi, lalu lepaskan. Cukuplah dengan merindu, cumbui pelanginya lalu tepikan peluk kita” (Cerita harus Usai)
Membaca cerita dalam buku ini seperti tidak sabar menapaki satu demi satu cerita. Hanya saja, pada paruh terakhir, kesamaan pola cerita sudah terasa. Akhirnya melamban, ibarat menuang terlalu banyak garam berulang-ulang dalam satu menu.
Tapi, pada akhirnya, saya harus bilang bahwa sebagai kaum baper, tulisan Chitra mewakili konten yang ingin saya baca. Untuk itu saya musti berkeras menyatakan bahwa tidak ada yang salah menjadibaper. Karena dunia yang beradab dibangun tidak saja oleh beton yang dikalkulasi secara matematis, namun oleh rupa-rusa emosi didalamnya. Sebagai akademisi, Chitra bukan model yang lazim. Ia membiarkan sebagian isi kepalanya bermain-main dengan ilusi , dan mungkin kombinasi sedikit pengalaman rasanya. Ia pengajar yang “kaya”. Karenanya, saya mendukungnya mengabaikan kritik terhadap karyanya yang dianggap tidak ilmiah. Seperti yang dituntut kaum kebanyakan kepada cendekia Toh karya sastra tidak diciptakan untuk dinilai pemenuhan kaidah ilmiahnya. Sesederhana ungkap Chitra “cukup pakai rasa” . (one')
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H