Berterima kasihlah pada maskapai dalam kategori low cost airfare. Karena jasa mereka, mobilitas antar pulau lebih mudah dan terjangkau. Dua dekade sebelumnya, bepergian dengan burung besi hanya bisa dilakukan oleh pemilik uang banyak. Meskipun kabar-kabarnya, penerbangan murah akan ditiadakan. Menyusul evaluasi terhadap efesiensi biaya penerbangan dikaitkan dengan prosedur standar keselamatan. Usai beberapa insiden penerbangan lalu. Kabar baiknya, nampaknya harga tiket masih relatif bisa dijangkau hingga saat ini.
Di Jawa, transportasi darat dengan kereta semakin nyaman tertata. Lainnya, jumlah bus antar kota juga membanyak. Untuk tujuan yang masih bisa dicapai dengan moda transportasi ini.
Ya, ini cerita tentang pergerakan manusia secara temporer dalam waktu relatif singkat dari satu tempat ke tempat lain. Sebutlah ia perjalanan atautravelling. Sejak mobilitas manusia semakin mudah, travelling diserap jadi kosa kata yang familiar. Menarik untuk mengamati perilaku khas traveller kita.
Travelling bukan saja dilakukan karena memang harus bepergian karena satu kepentingan ditempat lain. Untuk perjalanan dinas atau kepentingan terkait keluarga. Lebih jauh, menjadi gaya hidup.
Hari gini, banyak orang merencanakan bepergian secara sengaja. Untuk melancong, menyambangi destinasi yang dituju. Media berperan memberikan informasi mengenai tujuan dan obyek yang bisa dinikmati oleh indera manusia. Mudah diakses untuk dipelajari. Daya tarik satu tempat bisa berupa bangunan, kekayaan kuliner, alam atau sejarah dan tradisinya. Seperti menggoda untuk menjejakkan kaki diatas tanahnya.
Travelling benar mengandung nilai positif. Menginjak tempat yang berbeda memberi pengalaman batin baru. Tidak saja berarti beroleh pengetahuan dan wawasan baru. Namun mengajarkan tentang ragam perbedaan. Jika kita pandai memetik hikmah, akan membuat meningkatkan rasa empati, respek dan rasa syukur akan apa yang kita punya.
Setelah menjadi gaya hidup, kecenderungan tipe traveller Indonesia sangat khas. Inilah traveller ala kita.
Tipe pertama, adalah overseas minded . Melancong keluar negeri dianggap lebih punya gengsi ketimbang menyambangi destinasi domestik. Padahal Indonesia membentang dari Sabang sampai Merauke. Tidak kurang banyak dan tidak kurang bagusnya. Tinggal menentukan tujuan dan ketertarikan khusus nya pada obyek tertentu. Berani bertaruh , lebih banyak orang Indonesia yang sudah meninjakkan kaki ke Singapura atau Bangkok. Ketimbang bertandang ke Singkawang atau Flores. Banyak dalih, karena tiket domestik sering lebih mahal. Padahal, biaya melancong ke mancanegara diluar tiket, bisa berlipat-berlipat. Percayalah, mereka yang sudah bertualang ke banyak tempat, akan bilang kalau Indonesia jauh lebih indah.
Tipe kedua, mereka yang ingin disebut backpacker. Terminologibackpacker jadi sangat populer. Semua ingin menjadi backpacker. Atau merasa diri backpacker. Terdengar gagah ditelinga. Padahal backpacking bermakna lebih luas dalam konteks perjalanan. Bukan sekedar menyandang ransel, tapi juga menekan tingkat kenyamanan pada level minimal dengan anggaran terbatas. Sekedar bisa sampai ditujuan atau bisa punya tempat untuk tidur. Diluar itu, backpacking berbeda dari turis pada umumnya karena keleluasaan jadwal dan motivasi untuk belajar hal baru dari perjalanan melalui rute atau tujuan yang seringkali tidak biasa. Jelas, bukan perjalanan yang terorganisir sangat rapi dengan itinerary yang ketat.
Tipe ketiga, para pengunggah perjalanan. Media jaringan sosial maya sedikit banyak mempengaruhi gaya perjalanan. Banyak traveller merasa merasa perlu mengumumkan kepada khalayak mengenai keberadaannya. Lewat teks atau gambar diri berlatar belakang landmark lokasi perjalanan yang diunggah. Ada kebanggaan tersurat didalamnya. Belum juga usai mendalami obyek perjalanan, keberadaan sudah dipublikasi luas. Bukan soal salah atau benar, baik atau buruk . Ini sih soal pilihan saja. Mau memilih gaya travelling seperti apa. Sayang saja, jika berfoto di landmark saja dirasa sudah cukup. Ayolah, travelling lebih dari berfoto di landmark dan mengunggahnya.
Tipe keempat, pemburu jumlah. . “Prestasi” perjalanan, sering dihitung dengan panjangnya daftar kota yang dikunjungi. Kebanggaan diukur dari banyaknya tempat. Padahal sejatinya, bukan soal berapa banyak, tapi berapa dalam traveller mengenal dan mendalami kekhasan satu tempat. Untunglah, belakangan ini, berkembang arus baru dalam komunitas peminat perjalanan. Dimana, jaringan komunitas pejalan bisa memilih untuk tidak lagi tinggal dihotel, namun bisa memiiki alternatif untuk ikut tinggal bersama dengan penyedia jasa penginapan non-reguler. Umumnya penduduk lokal, yang menawarkan tempat tinggalnya untuk diinapi. Sekaligus menawarakan kesempatan untuk mendalami dinamika keseharian masyarakat lokal. Selain itu, proses perjalanan sendiri menjadi satu bagian penting. Untuk belajar mengelola diri.