Modernitas ditandai dengan kesadaran mengenai subyektivitas. Itu tidak berarti bahwa sebelum zaman modern orang tidak menganggap dirinya sebagai subjek, melainkan dalam modernitas peran subyek sangat ditekankan. Manusia percaya bahwa segala sesuatu dapat dijelaskan bahkan diasalkan dari subyek manusia. Ungkapan Descartes dapat mewakili hal itu ”cogito ergo sum” atau ”aku berpikir maka aku ada”. Ungkapan itu tersirat, bahkan adanya aku itu bersumber dari diriku itu. Apa konsekuensi dari ungkapan itu? Peran Allah dalam menjelaskan segala sesuatu di”gembosi”.
Di”gembosi” mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan Allah yang babak belur di zaman modern dan lebih-lebih di era post-modern. Ibarat sebuah ”ban”, modernitas sejak zaman renaisance sedikit demi sedikit menekan pentil pembuang angin hingga ”ban” itu kempes. Dahulu orang mendasarkan segala sesuatu pada Tuhan atau yang Ilahi. Ketika gunung meletus, orang jawa akan mengatakan hal itu karena terjadi karena Batara Kala. Lantas, ketika gerhana bulan dengan mudah orang tua akan mengatakan pada anaknya bahwa seorang ”buto” atau raksasa sedang memakannya. Dalam tradisi filsafat barat misalnya, filsuf besar abad pertengahan tidak kalah canggih dalam mensistematisasikan pemikiran mereka mengenai dunia, alam, dan jiwa dengan filsuf masa kini. Namun cirikhas mereka adalah tetap mendasarkannya pada Iman. Cara pikir modern menolak pendasaran semacam itu. Cara pikir modern telah menghasilkan ”anak” yakni atheisme. Atheisme tidak hanya menggembosi peran Tuhan dalam hidup manusia tetapi malahan menolak adanya Tuhan. Penolakan itu bukan lantaran didasari ketidakpercayaannya pada Tuhan, melainkan mengarahkan semua penjelasannya pada manusia dan rasionya. Keyakinan diri dan pengidealan diri inilah yang menjadi cirikhas para golongan atheisme modern. Kata kuncinya adalah emansipasi. Dalam KBBI, emansipasi dapat diartikan sebagai persamaan dan pembebasan. Dalam kaitannya dengan Atheisme emansipasi berarti persamaan dengan sesuatu atau manusia yang diidealkan dan kebebasan dari sesuatu yang memperbudak yakni Tuhan. Terdapat beberapa argumen besar yang mendukung hal itu. Sebut saja Feurbach yang terkenal dengan tesisnya ”rahasia teologi adalah antropologi”. Menurutnya halnya Tuhan bisa dijelaskan dari manusia. Tuhan tidak lain ”hanya”lah proyeksi dari manusia-manusia pengecut. Dengan menyebut Tuhan adalah yang mahabaik, mahakuasa, mahaagung, mahatahu, dan lain sebagainya manusia melemparkan hasrat diri yang tidak bisa dipenuhinya kepada sesuatu yang di luar. Maka Tuhan tidak lain dan tidak bukan justru produk dari manusia. Kalau begitu yang dimaksud tuhan tidak lain adalah manusia sendiri. Sama halnya dengan Kalr-Marx. Sebagai ”penerus” Feurbach, Marx menganggap agama adalah ”opium” masyarakat, yang menghalangi manusia untuk memperjuangkan keadaannya yang tertindas. Selain itu, filsuf Prancis, Jean Paul Sartre bersorak-sorai dengan pengumuman dari Nietche bahwa Tuhan sudah mati. Sebagai atheis jempolan, Sartre dengan tegas menyatakan ”karena manusia bebas, maka Allah tidak ada”. Jika Allah ada manusia menjadi tidak bebas karena segala sesuatu diatur olehnya, harus sesuai dengan kehendaknya. Jika segala sesuatu adalah kehendak-Nya maka dimana letak kebebasanku? Maka demi kebebasanku Allah harus tidak ada. Bagi penulis, emansipasi para filsuf itu adalah suatu emansipasi yang keblabasan.Argumen mereka meyakinkan namun, tetap tidak membuktikan ada tidaknya Tuhan. Feurbach dan Marx hanya sampai pada kritik agama bukan Tuhan, bahkan Feurbach dengan menghapus Tuhan ia menciptakan tuhan lain yakni manusia. Namun pernyataan Sartre cukup menohok Kita. Kita semua percaya bahwa kita memiliki kebebasan. Lantas, adalah benar bahwa Tuhan juga yang mengatur dan berkehendak atas hidup kita. Bagaimana ini bisa diperdamaikan? Menurut penulis jawabannya ada pada Cinta. Ada kisah menarik, ”suatu ketika aku mencintai seorang gadis, dan dia pun mencintaiku. Lantas, aku menguras tabunganku, dan membelikannya sebuah cincin permata. Dia tersenyum lantas menciumku”. Dalam kisah itu apakah ”aku” menghabiskan uangku karena terpaksa? Tidak!. ”Aku” melakukannya dengan penuh kebebasan tanpa paksaan. Demikian pula relasi dengan Tuhan. Tuhan tidak pernah mengekang manusia, tetapi karena kasih kepadanyalah seseorang berbuat sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Dengan berbuat apa yang dikehendakinya kita mengemansipasi diri kita pada Tuhan yang mencintai manusia. Manusia mengemansipasi dirinya dengan balik mencintainya. Oleh karena itu, emansipasi manusia modern yang jatuh ke dalam atheisme patut dipertanyakan. Bisa jadi atheisme justru wujud ketidakbebasan manusia, yakni terbelenggu dari dirinya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H