Semenjak digulirkannya berbagai macam program dari kemendikbud untuk memperbaiki kualitas dan mutu pendidikan nasional, perlahan tapi pasti arah tujuan pendidikan akan tercapai. Layar sudah terkembang, pantang surut untuk dilipat kembali. Dalam sebuah kapal besar bernama merdeka belajar, semua insan pendidikan harus open minded untuk merubah paradigma yang selama ini mengekangnya. Pembelajaran yang berorientasi pada kebutuhan murid harus dikedepankan, pengambilan kebijakan yang berbasis data harus diprioritaskan. Semuanya tersedia dalam kapal besar tersebut. Pendidikan yang mengedepankan karakter, gencar dilaksanakan di setiap sekolah. Hasil dari perubahan paradigma tersebut tidak akan mudah dan cepat seperti membuat sambal dan menikmati hasilnya. Ki Hajar Dewantara mengungkapkan, bahwa pendidikan adalah upaya menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia dan anggota masyarakat.
Perlu diberikan insight bahwa pendidikan berbeda dengan pengajaran, dalam pendidikan sudah jelas ada kata menuntun. Tentunya apabila seseorang yang akan menuntun harus memiliki pengetahuan, keterampilan dan moral atau karakter yang baik. Jangan sampai yang menuntun tidak memiliki kompetensi tersebut. Bisa-bisa salah langkah dan malah menjerumuskan kedalam jurang yang sangat dalam. Siapa yang bisa menuntun? Dalam konteks tersebut cakupannya luas, artinya setiap orang dapat menuntun. Orang yang dapat menuntun untuk mencapai tujuan tersebut dinamakan GURU. Bisa orang tua di rumah, teman, atau orang lain. Dalam artian yang membawa kepada kebahagiaan dan keselamatan sebagai manusia dan anggota masyarakat dinamakan guru. Sudah layakkah seorang guru di sekolah dinamakan guru dalam artian sebenarnya. Banyak ragam guru yang sekarang ini beredar dan menjadi trademark di lingkungan sekolah, ada label guru bersertifikasi, guru PPPK, guru honorer, guru non-serti, guru PNS, guru negeri, guru swasta, dan yang terakhir guru penggerak. Semuanya menjadi membiaskan dalam artian guru yang mendidik. Belum lama ini Menteri Keuangan menghubungkan antara guru yang tersertifikasi dan kinerjanya, ternyata tidak ada perubahan yang signifikan. Hal ini tentunya jadi pemacu dan pemicu bagi guru untuk meningkatkan kualitas dan profesionalismenya. Selain itu, 8 Standar yang wajib sama disetiap satuan pendidikan belum semuanya merata. Dunia pendidikan yang dihadapi adalah manusia yang dinamis, bukan robot atau mesin. Sehingga kemampuan guru harus selalu diupgrade setiap waktu. Sudahkah pendidikan kita memprioritaskan kebutuhan dasar manusia, yang menurut Abraham Maslow ada 5 kebutuhan dasar? Sudahkah dalam rangka mendidik dan mengajar, seorang guru memperhatikan kebutuhan murid-muridnya atau terbiasa menyamaratakan semua murid? Semua ini menjadi tantangan dan pekerjaan yang tidak akan pernah habisnya untuk dibahas.
Kurikulum merdeka seolah menjadi salah satu jawabannya, dalam tataran teori dan dokumen belum menyentuh kepada esensi dari pemikiran Ki Hajar Dewantara yang begitu visioner. Sebagai seorang praktisi dilapangan, tentunya Guru memerlukan belajar dan praktik dalam mewujudkan konsep merdeka belajar. Episode guru penggerak, sekolah penggerak dan organisasi penggerak membawa kepada arah pencerahan untuk mengejawantahkan konsep merdeka belajar tersebut. Namun, tidak semua guru terlibat langsung dalam episode tersebut. Adanya resistensi dari guru terhadap pola pikir dan enggan mengikuti seleksi yang dalam segi administrasinya cukup banyak dan melelahkan. Tentunya jadi bahan evaluasi kemdikbud kedepannya. Selain itu dalam bidang digital, dilahirkannya platform merdeka mengajar (PMM) dapat digunakan guru untuk memahami dan mempraktikkan konsep merdeka belajar dimana saja dan kapan saja, juga belum mencapai target yang diinginkan dari segi kontirbusi guru untuk memanfaatkan PMM tersebut. Bagaimana mau serentak bergerak, kalau pola pikir dan orientasinya bukan pada murid?
Belum lagi adanya miskonsepsi terkait kurikulum merdeka, jangan sampai dominansi guru sangat berperan dalam proses pembelajaran. Â Jangan sampai penguatan profil pelajar Pancasila hanya sebatas menghasilkan produk saja, setelah itu selesai. Tanpa diketahui perkembangan dimensi yang sudah dicapainya. Jangan sampai capaian pembelajaran berubah menjadi capaian perintah guru. Jangan sampai kebutuhan (needs) murid berubah menjadi keinginan (wants) guru. Diperlukan refleksi dan evaluasi yang mendalam, supaya tidak terjadi miskonsepsi dalam merdeka belajar.
Akhirnya, melalui momentum memperingati Hari Pendidikan Nasional tahun ini yang bertemakan "Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar". Tak lupa saya sampaikan selamat Hari Pendidikan Nasional, semoga pendidikan Indonesia semakin baik menuju generasi Emas Indonesia Tahun 2045.
Ing Ngarsa Sung Taulada
Ing Madya Mangun Karsa
Tut Wuri Handayani
*Penulis : Suryan Nuloh (Guru SMPN 1 Surian-Sumedang)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H