Kesadaran terhadap fenomena sosial tidak selalu menjadi perhatian setiap orang, seandainya kesadaran itu hadir pada setiap orang mungkin kosa kata keseharian kita tidak mengenal istilah apatis. Fenomena sosial yang setiap saat mengalami perubahan dalam menentukan jalannya, menuju yang baik atau sebaliknya. Kepedulian terhadap perubahan yang ikut serta menjadi bagian pada konteks fenomena sosial harus terus diperhatikan.
Kepedulian terhadap perubahan tersebut dan melihat kepentingan orang banyak sebagai prioritas hidupnya selalu punya kelas tersendiri dalam stratifikasi sosial. Bagi orang yang tidak fokus pada kepentingan pribadinya tapi lebih memilih jalan untuk berjuang sebagai upaya untuk memperbaiki kepentingan Bersama selalu punya julukan sebagai seorang aktivis. Kata aktivis bukan kata yang asing bagi Masyarakat Indonesia, setiap hari telinga kita selalu mendengar panggilan kepada seseorang dengan sebutan aktivis.
Penggambaran seorang aktivis selalu digambarkan kepada orang yang selalu senantiasa berjuang terhadap kepentingan bersama daripada miliknya. Kesadaran pada seorang aktivis lahir dari penghilatan terhadap kondisi sosial yang menurutnya tidak ada keberpihakan. Berjuang terhadap keberpihakan yang sudah semestinya dijalankan, itulah jalan perjuangan bagi seorang aktivis, kehidupan seorang aktivis tidak bisa dipisahkan dari kehidupan seorang terpelajar, karena kesadaran terhadap ilmu pengetahuan melahirkan akan kesadaran terhadap kondisi sosial. Meskipun tidak semua kalangan terpelajar bisa masuk kategori seorang aktivis.
Bangsa Indonesia punya perjalanan sejarah panjang tentang seorang aktivis, sehingga kita mengenal periodisasi aktivis misalnya ada aktivis 65, aktivis 74, dan aktivis 98. Periodisasi tersebut sebagai penggambaran bahwa pada tahun tersebut telah ada sosok pejuangan dalam menegakan nilai-nilai yang ideal. Aktivis sering juga digambarkan pada orang yang tergabung dalam sebuah organisasi sebagai alat perjuangan untuk mencapai pada tujuan yang didambakan.
Kesadaran yang tertanam pada benak seorang aktivis tidak boleh hilang, karena aktivis sebagai orang yang punya kesadaran intelektual harus mempertanggungjawabkan kesadaran tersebut. Setiap orang harus punya kesadaran menjadi seorang aktivis, sebagai pengontrolan terhadap jalan yang bengkok. Kesadaran itu seolah menghilang pada keseharian kita, bahkan selalu ada pembengkokan yang dilakukan. Dinamika kehidupan selalu dihadapkan pada perubahan yang berawal menjadi seorang pejuang, kini telah menghilang. Mungkin kita bisa berspekulasi tentang perubahan itu, lantas alas an apa yang harus digunakan ketika ada perubahan keberpihakan.
Keberpihakan terhadap kemiskinan, kesenjangan, ketimpangan, jeritan-jeritan terus mengeras disamping telanga kita bukan lagi menjadi prioritas yang harus diperjuangkan. Peralihan keberpihakan tersebut seolah bukan menjadi masalah. Kehilangan keberpihakan dari diri kita menjadikan harus terbiasa dengan segala apa yang kita lihat, meskipun hal seperti itu seharusnya hilang dari penglihatan kita. Kalangan terpelajar kehilangan kesadaran intelektualnya, tidak lagi punya konsentrasi untuk berpihak pada yang benar sebagai standar objektif bagi seorang intelektual.
Mengenang Indonesia yang tidak kekurangan tokoh intelektual yang tidak mementingkan dirinya sendiri, sudah selayaknya harus jadi rujukan bersama. Ketika kita dihadapkan pada sebuah fenomena yang menyakitkan dengan segala problematika yang ada. Lantas kaum intelektual ada di posisi mana? Suara yang selalu melantang menyebut dirinya seorang aktivis, kemanakah suara itu. Bukan kaum intelektual harus ada keberpihakan pada kebenaran, bukan sebatas alat untuk transaksional.
Gaungan aktivis tidak lagi terdengar pada jeritan Masyarakat yang tak terlihat di platfrom digital kita. Kita telah menjadi manusia apatis yang hilang penglihatan terhadap fenomena yang terus menganga. Aktivis tidak lagi menjadi simbol atas perjuangan tapi menjadi simbol alat untuk mendekatkan terhadap ruang dari sumber jeritan. Jalan yang diambil untuk menjadi seorang aktivis harus dikembalikan kepada jalan yang benar, bukan menjadikan menghamba kepada kekuasaan. Harus jeritan bagaimana yang bisa mengembalikan seorang aktivis kepada jalannya yaitu jalan untuk menghilangkan segala jeritan.
Kembali kepada kesadaran untuk memperbaiki keberpihakan yang telah hilang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H