Mohon tunggu...
Anton Surya
Anton Surya Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengelana

Pengelana

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Jelajah Kalimantan (IV) Gunung Niut

5 September 2010   23:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:25 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_250664" align="alignnone" width="300" caption="Jembatan Tengon Kulum"][/caption]

Gunung Niut adalah sebuah tempat yang unik esksotik. Keunikan bahasa yang dimiliki, walaupun nampaknya satu rumpun tetapi bahasa dimiliki satu kampung dengan lain berbeda. Karena keterbatasan saya dalam bidang linguistik, jadi tidak bisa menggolongkannya atau mengadakan penelitian lebih lanjut. Pernah saya temui bahasa ba’nyap (semoga saya tidak salah tulis). Bahasa dengan aksen yang diucapkan dengan tenggorokan dan hanya sedikit penutur yang saya temui. Mereka seringkali di olok oleh orang diluar mereka karena ucapan bahasa yang aneh. Sebenarnya bahasa mereka perlu dilestarikan karena itu merupakan kekayaan budaya yang tak ternilai.

Daerah inilah satu-satunya yang memiliki bahasa yang sangat sedikit terpengaruh dengan bahasa Melayu dibanding daerah lain di Kalimantan Barat. Unsur serapan bahasa Melayu jarang saya dengar seperti pada umumnya bahasa Dayak Kalimantan Barat lain. Cerita lisan mengenai pengayauan pun masih banyak ditemui terutama dari orang-orang tua. Biasanya cerita itu berkisar Kisah kepahlawanan dan dendam antar kampung/desa.

Menurut beberapa orang dari luar Niut sekitar tahun 70an, saat membawa barang dagangan (dengan jalan kaki tentunya) yang hendak dijual ke Malaysia via Niut, mereka pernah di hadang oleh pengayau (pemburu kepala). Tetapi pengayau mundur karena jumlah pedagang lebih banyak dan semua bersiaga dengan mandau, saat mendengar suara tembakan dari lantak (senapan rakitan). Sebenarnya tembakan itu ditujukan kepada para mereka, cuma tidak kena. Mungkin karena kualitas lantak yang dimiliki tidak terlalu bagus. Mereka tidak punyak teknik pembuatan lantak yang baik.

Kepala hasil perburuan biasanya di gunakan sebagai jimat untuk menambah kesaktian juga bisa menambah kesuburan tanah pertanian. Pada masa dahulu kepala-kepala manusia yang dijadikan mas kawin. Gadis-gadis kampung menuntut kepala sebagai syarat untuk menikahinya. Gadis-gadis Niut dikenal cantik-cantik. Kulit mereka bersih dan putih serta memiliki hidung mancung. Memang dari beberapa kampung saya lihat memenuhi kriteria itu. Tetapi orang luar segan untuk mendekatinya, karena takut tidak bisa keluar kampung si wanita jika sudah berhubungan dengan wanita. Saya pernah dingatkan oleh beberapa teman agar berhati-hati jika berhubungan dengan wanita supaya jangan kena “ikat”.Maklum magic mereka masih kuat. Beberapa cerita mengenai pemuda luar kampung yang “terikat” sudah dengar. Tetapi kebenarannya belum saya selidiki.

Tetapi umumnya penduduk Niut ramah dan welcome terhadap orang luar. Saat saya berkunjung ke Tengon Kulum (yang terdekat dari Bentiang), mereka sedang mendapatkan rusa dari hasil berburu. Mereka mengundang saya menikmatinya. Mereka memang dikenal pemburu tangguh. Sulit hewan liar lolos dari kejaran mereka jika sudah terdeteksi dari jejaknya. Sebenarnya saya akan mengunjungi beberapa teman, termasuk undangan dari kepala desa Tengon yang sudah wanti-wanti jauh hari untuk mampir, tetapi karena keterbatasan waktu saya mengurungkan niat. Tengon sendiri terdiri dari beberapa kampung yang satu sama lain berjauhan. Dan harus ditempuh dengan kaki. Saat saya datang Buldozer sedang membuka jalan yang baru sampai di Tengon Kulum. Buldoser itu rupanya menjadi hiburan bagi penduduk kampung, bahkan sampai ada yang menggelar tikar di pinggir jalan dekat lapangan Sepak Bola di mulut kampung. Mereka asyik menikmati buldozer bekerja. Hiburan ala kampung.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun