[caption id="attachment_183387" align="alignnone" width="300" caption="Makam Pangsuma di kota Kecamatan Meliau, Sanggau, Kalimantan Barat"][/caption]
Sungguh tidak mudah menulis tentang Dayak karena sumber tertulis masih jarang, mau tidak mau harus didukung oleh sumber-sumber lisan. Parahnya lagi sumber lisan sering berlainan satu dengan lainnya. Untuk itu kita harus bisa memilahnya dan itu butuh waktu juga.
Bagi orang Dayak perang seperti doktrin perang semesta pada ABRI (entah doktrin masih dipakai oleh TNI atau tidak) atau perang puputan di Bali. Semua unsur masyarakat harus terlibat. Penyelesaianya juga harus melalui proses adat yang diadakan melalui ritual tertentu. Tanpa semua proses itu maka perang masih dianggap masih berlangsung. Contohnya sekelompok orang Dayak yang dipimpin Panglima Burung datang menyerang Pontianak untuk mencari serdadu Jepang untuk melakukan pembalasan terhadap Perang Majang Desa yang dipimpin Pangsuma, padahal Jepang sudah menyerah dan keluar dari Indonesia. Untung tidak terjadi bentrok dengan para pejuang kemerdekaan.
Menurut catatan penulis Belanda. Benteng Belanda di Sintang dan Sanggau selalu mendapat serangan tanpa henti dari Orang Dayak, sehingga terpaksa mereka tinggalkan dan bertahan di Pontianak.
Salah satu sejarah perjuangan rakyat Kalimantan Barat adalah peperangan yang dipimpin Pangsuma. Konon Pangsuma berjuang dalam membebaskan negerinya dari penjajah hanya dengan berbekal keberanian dan sebilah Sabur (sejenis mandau/parang panjang). Sebelum memulai perlawanan Pangsuma sudah menyebar “mangkok merah” sebagai tanda adanya ancaman terhadap orang dayak. Tetapi karena pada masa itu sulit komunikasi dan transportasi sehingga “berita” mangkok merah diterima terlambat oleh beberapa suku Dayak. Pangsuma sendiri berhasil mengorganisir laskar perlawanan yang dinamakan Angkatan Perang Majang Desa.
Pangsuma berhasil membunuh pimpinan Jepang di tiga lokasi yakni Sekucing Balai Bekuak (sekarang terletak di perbatasan Kabupaten Ketapang dan Kecamatan Toba Kabupaten Sanggau), kedua di Desa Kunyil Kecamatan Meliau dan ketiga di pusat Kota Meliau sendiri yang merupakan basisnya Jepang. Oleh karena keberhasilannya tersebut Pangsuma merupakan sosok yang oleh Jepang dianggap membahayakan kedudukannya, untuk itu Jepang membayar teman seperguruan Pangsuma untuk membunuh Pangsuma. Pangsuma ditembak bersama adiknya, namun sang adik dapat menyelamatkan diri, tetapi perjuangan Pangsuma berakhir dengan meninggalnya beliau di bawah jembatan. Tetapi perlawanan dari suku Dayak tidak berakhir. Contohnya seperti yang sebutkan diatas.
Sumber:
Syafarudin Usman Dan Isnawita Din "Peristiwa Mandor Berdarah"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H