Imlek adalah hari yang paling dinanti saat saya kecil. Selain makanan enak yang berlimpah dan tentu saja angpao yang selalu didapat. Setelah menikah Imlek menjadi berbeda karena saya menikah dengan wanita Dayak yang tidak merayakan Imlek. Tetapi sebuah akulturasi terjadi.Â
Kami sepakat untuk menjaga tradisi masing-masing dan akan mendidik anak supaya sadar, dia dilahirkan dalam dua budaya berbeda sehingga saat besar nanti tidak lupa budaya dari kedua orangtuanya tanpa perlu menganggap budaya yang satu lebih baik dari budaya yang lain.
Pernah seorang teman bertanya, "Kamu merayakan Imlek atau Natal?" kujawab dengan enteng, "Keduanya."
"Wah pengeluaran jadi besar ya."
Pengeluaran bertambah itu pasti karena kedua hari raya, kami rayakan. Tetapi kami juga merasakan sebuah keunikan dalam merayakan keduanya. Saat dua budaya bertemu dalam satu rumah maka akan terjadi akulturasi.Â
Disaat kami merayakan Natal, biasanya kami pulang kampung (meski tidak setiap tahun). Nah saat pulang kampung itu istri menyiapkan amplop angpao untuk sanak saudara di kampung.Â
Mungkin hanya kami di kampung tersebut yang melakukan ritual bagi angpao bagi keponakan dan saudara yang belum menikah. Syukur Natal tahun kemarin ada angpao bertema natal, sebelumnya kami pakai angpao Imlek.Â
Belum lagi saat gawai Dayak, kami juga harus sering merayakan dengan berkunjung ke tempat orang yang lebih tua. Mandat budaya leluhur tetap kami juga sebagai ajang silaturahmi untuk mempererat persaudaraan.
Kini tiba saatnya merayakan Imlek, biasanya kami sudah siap-siap untuk membersihkan rumah dan mempersiapkan kue dan minuman, jika ada dana lebih maka akan masak opor ayam dan babi kecap. Minuman dan kue sisa Natal tapi dalam kondisi baik, dengan tambahan kue keranjang pastinya.Â