Mohon tunggu...
Anton Surya
Anton Surya Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengelana

Pengelana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bercermin pada Penjual Mie Ayam Keliling

6 Mei 2016   09:24 Diperbarui: 6 Mei 2016   11:34 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak awal saya tinggal di Sekadau sebuah kota kecil di Kalimantan Barat. Saya selalu memperhatikan para pedagang keliling yang menggunakan gerobak. Hampir seluruhnya mereka pedagang dari Jawa. Didominasi oleh pedagang somay atau batagor, kemudian disusul tukang bakso dan es krim.

sumber: Cahaya.co

Tetapi satu hal yang menarik saya seorang pedagang mie ayam keliling. Pertama kali saya tinggal disini saya membeli batagor dia, kemudian disusul beberapa kali berikutnya, tetapi akhirnya dia beralih menjadi penjual mie ayam. Sekali beli rasanya tidak enak, kemudian tidak pernah lagi membelinya. Selang dua tahun kemudian saya membeli rasanya sudah berubah menjadi lebih enak.

Selidik punya selidik, wow ternyata dia seorang lulusan sebuah universitas negeri ternama di Jawa. Dia pernah menjabat salah manager di Sucofindo yang kemudian harus keluar karena sesuatu dan lain hal. Pantas gaya sikap dan gaya bicaranya berbeda dengan penjual yang lain.

Setelah keluar dan pekerjaan dia melamar ke beberapa tempat tetapi kemudian memutuskan merantau ke Kalimantan, sementara keluarga masih di Jawa.

Setiap sore jika tidak ada kegiatan saya selalu nongkrong di tempat teman yang memiliki usaha jual-beli motor bekas. Dia teman baik sekaligus pebisnis yang cukup berhasil. Dia mereview hidupnya pada saat dia menjadi kepala cabang sepeda motor merk ternama di negeri ini dengan gaji fantastis untuk ukuran Kalimantan Barat, 8 juta!  Tetapi kemudian harus mundur karena penjualan menurun. Sempat bekerja di perusahaan lain tetapi tidak bertahan lama. Dia menceritakan saat menjadi kepala cabang dia menikmati beragam fasilitas mewah dan dihormati oleh banyak bawahan, menjadi “shock” saat bekerja ditempat lain dan terlebih lagi saat mulai berwiraswasta. Mungkin ini yang menurutnya “post power syndrome”

Saat menjadi kepala cabang dia hanya tinggal memerintah bawahan untuk mengerjakan segala sesuatu, tetapi saat mulai berdagang dia harus mengerjakan sendiri semuanya. Bahkan dia harus rela mengejar pelanggan sekalipun dia cuma pelanggan kelas teri. Kantor nyaman hanyalah tinggal kenangan. Kini dia masih harus berjuang, menurutnya asal jangan putus asa kita pasti berhasil.

Hidup memang tidak selalu sama, tetapi perjuangan kita yang menentukan masa depan. Saya dahulu peraih Juara dua penulisan tingkat provinsi dan meraih gelar Sarjana komputer di Jakarta dan sempat bekerja dengan masa depan bagus. Tetapi kini harus berjuang merintis asa masa depan di sebuah kota kecil. Tetapi Tuhan dan asa itu tetap ada bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun