Bapak…
Pulanglah
Kampung kita kebanjiran
Bahkan rumah kita juga terancam
Di ujung jalan sana, bunyi klakson bersahutan
Karena macet dimana-mana
Bapak…
Pulanglah
Duka dan tangis saudara mudaku
Di Wasior belum juga kering
Adik-adikku disana masih mengais
Mengorek sisa banjir
Mencari celengan bambunya
Bapak…
Pulanglah
Duka dan tangis saudara tuaku
Di lereng Merapi baru saja meledak
Rumah dan ladang mereka beruba jadi lautan abu
Kulit mereka gosong segosong ternaknya yang mati
Bapak…
Pulanglah
Tidak kau tahun saudara kembarku
Di Mentawai sana sedang gunda gulana
Mencari sanak yang tergulung Tsunami
Menghitung remah-remah untuk bertahan hidup
Karena orang lebih sibuk beradu mulut di Ibukota
Tak bisa membedakan Banjir dan Tsunami
Bapak…
Pulanglah
Usah kau tebar pesona di sana
Para Veteran Viet Cong takkan terkesima
Bapak…
Pulanglah
Tak usah kau habis Upeti kami
Hanya untuk memimpin Obrolan Cakruk
Lewat satelit
Bapak…
Pulanglah
Tidak kau sadar
Kehadiranmu kami butuhkan
Kenapa tak kau tiru
Sebastian Pinera
Obama
Atau Evo Morales
Bapak…
Pulanglah
Kami tak butuh suara terharumu
Kami tak butuh tetes air matamu
Yang kami butuh kehadiranmu
Bapak…
Pulanglah
Kami sudah tak marah lagi padamu
Kami sudah memaafkanmu
Hanya tersisa rasa Muak padamu
Yang siap kamu tumpahkan
Jika Bapak terus tebar pesona
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H