Mohon tunggu...
Suryadin Laoddang
Suryadin Laoddang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Konsultan Digital Marketing - Pemerhati Budaya Bugis

Lahir tahun 79 di Sulsel. Kini menetap di Yogyakarta sejak 97. Latar belakang pendidikan ekonomi, tetapi lebih tertarik ke masalah Budaya. Khususnya sastra Bugis berupa GALIGO, ELONG-KELONG, DARARI, AKKE ADA, dll.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tak Banyak Lagi yang Bisa Baca Lontara’

12 Juli 2010   06:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:55 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahasiswa-mahasiswa asal Sulsel dan Sulbar di Yogyakarta menghadirkan budaya lokal melalui cerdas cermat pribahasa Bugis-Makassar-Mandar-Toraja, akhir bulan lalu. Semua peserta kesulitan membaca Lontara’. Citizen reporter Suryadin Laoddang yang menjadi salah satu pemandu lomba, menurunkan laporannya berikut ini. (p!)

Jumat, 25 Mei 2010. Jam 14.31, panitia dalam kondisi panik. Ruang Aula Balaikota Yogyakarta yang sedianya menjadi tempat perhelatan Cerdas Cermat Pribahasa Bugis-Makassar-Mandar-Toraja belum bisa dibuka. Tak ada satupun yang tahu siapa yang membawa kunci ruangan. Tidak juga dengan Pak Pudjo, kepala Bagian Rumah Tangga Kantor Walikota Yogyakarta. Padahal 30 menit kedepan, acara akan dimulai. Beberapa peserta juga sudah mulai berdatangan. Spanduk kegiatan juga belum terpasang.

Kerja cepat dan cekatan ditunjukkan para panitia, setelah ruangan terbuka. Hanya butuh 10 menit spanduk dan meja peserta lomba sudah tertata rapi. Kejadian “tragis” mewarnai upaya panitia memasang spanduk. Melihat poster presiden, wakil presiden dan lambang burung Garuda yang terpasang permanen di dinding ruangan. Akhirnya para panitia berinisiatif untuk menutupi poster tersebut. Meski demikian upaya dan kerja panitia patut diacungi jempol, karena mereka adalah perempuan semua. Sebuah bentuk emansipasi tentunya. Maklum, acara ini memang diselenggarakan oleh Asrama Putri Mahasiswa Asal Sul-Sel “Wisma Aging Mammiri”, Yogyakarta dan didukung sepenuh oleh GALIGO Bugis, sebuah grup pencinta sastra Bugis di Jejaring Sosial Facebook. Disamping itu, panitia juga mendapatkan bantuan buku untuk hadiah dan bingkisan pemenang dari beberapa penerbit di Makassar dan Yogyakarta.

Husniati Lukman, ketua panitia menuturkan, “Acara ini adalah wujud kepedulian mahasiswa Sulsel di Yogyakarta di tengah makin pudarnya semangat cinta budaya lokal di kalangan kaum muda saat ini. Kaum muda lebih fasih mengumbar kata Jijay, Alay atau Lebay dibandingkan kataTabe’, Massimangna atau bahkan kata Iyye. Disamping itu, kami juga berharap, lewat ajang ini kekerabatan antara putra-putri daerah asal Sulawesi Selatan dan Barat kian erat dan hangat. “ Lomba ini diikuti oleh 21 Peserta dari 7 Tim. Cerdas Cermat ini terbagi dalam tiga babak. Masing-masing, babak penyisihan 1, babak penyisihan 2 dan final. Setelah mengumpulkan enam puluh delapan (68) poin pada penyisihan, tim We Taddampali melaju ke final didampingi oleh Tim Ikanyoma (55) dan Lamaddukelleng (55). Pada putaran pertama babak final, masing-masing peserta disuguhi lima pertanyaan, di antaranya membaca tulisan lontara dalam bahasa Mandar, Toraja dan Makassar. Sayang tidak satupun tim sukses membaca soal tersebut dengan benar. Model soal lainnya adalah menebak judul dan tema lagu Bugis yang diperdengarkan sebelumnya. Tiga lagu Bugis tersebut adalah Alosi Ripolo Dua, Ana’ Biu dan Mattenang Wae Cinnong. Mungkin karena akrabnya lagu Alosi Ripolo Dua di telinga para peserta, panitia dan penonton, sontak mereka berdiri menyanyikan lagu tersebut diikuti dengan gerakan melambaikan tangan. Meski kental dengan aroma persaingan antara tiga tim, ajang ini tetap diwarnai dengan kejadian dan jawaban-jawaban yang mengundang gelak tawa para peserta, juri dan penonton. Salah satunya, saat ditanya “Siapakah nama tokoh cendikiawan asal Sidenreng Rappang, bernama depan Nene’, hidup pada abad enam belas dan menjadi penasehat Kerajaan Sidenreng Rappang”. Salah satu dengan lantang penuh percaya diri menjawab “Nene Pakangde”.

Dipandu oleh Bustan Basir Maras, Sitti Aaisyah Sungkilang dan Suryadin Laoddang, acara babak final juga dihiasi pertanyaan-pertanyaan yang diperebutkan oleh ketiga tim. Tim We Taddampali yang pada putaran pertama unggul dibanding dua tim lainnya, akhirnya kehilangan banyak poin karena banyak mendapat pengurangan nilai akibat jawaban yang salah.

Akhirnya Tim Lamadukkelleng dengan personil Rizal, Jafar dan Ruby sukses merebut juara pertama, disusul tim Ikanyoma juara kedua dan We Taddampali sebagai juara tiga. Sementara kategori peserta favorit direbut oleh Aksan, juru bicara tim Ikanyoma. Aksan sendiri, di akhir acara menuturkan mengatakan, “Ini adalah pengalaman yang menarik.. Sebuah acara yang justru tidak pernah saya temui di Sulawesi Selatan.” Tak lupa, ia juga berharap akan ada kegiatan seperti Lomba Pidato atau Debat bahasa Bugis-Makassar-Mandar-Toraja. “Mumpung saya masih semester dua, jadi bisa ikut lagi!” Sementara itu, Eka Damayanti, salah satu peserta lainnya menuturkan, saya bangga mengikuti kegiatan ini, semoga setelah acara ini tidak ada lagi budaya “Bugis sentris, Makassar sentris, Mandar sentris atau Toraja sentris”. Hal inilah yang diamini oleh budayawan Mandar, Bustan Basir Maras. Ia menegaskan, terpisahnya Mandar dari Sulawesi Selatan hanya persoalan administratif belaka. Secara kekerabatan dan budaya kita tetap satu. Di sisi lain, Icha pangillan akrab dari Sitti Aaisyah Sungkilang menyayangkan komposisi peserta tim yang mengikuti acara ini. Menurut Icha, andai peserta jeli maka masing-masing peserta tidak akan kesulitan mengerjakan soal yang ada. Meski dibuat dalam empat bahasa daerah, seharusnya dalam satu tim terdapat masing-masing personil berasal dari suku yang berbeda. Andai ini terjadi, maka persilangan budaya akan semakin cantik dan menggairahkan. Di akhir acara, anggota tim juri lainnya memberikan ilustrasi menarik. Bahwa, dalam logo Departemen Pendidikan Nasional terdapat tulisan Tut Wuri Handayani, sebuah falsafah pendidikan yang dikutip dari ajaran Ki Hadjar Dewantara yang berbunyi “Ing Ngarso Suntolodo, Ing Madya Mangunkarso, Tut Wuri Handayani”. Yang berarti “Di depan menjadi teladan, di tengah membimbing, di belakang mengarahkan”. Ki Hadjar Dewantara sendiri lahir pada tahun 2 Mei 1829. Sementara itu, di tanah Sulawesi pada abad XVI, ada sosok Puang Rimaggalatung, yang mengajarkan falsafah “Mongriyolo patiroangngi, monri tengnga paraga-ragai, monriyongri paampiwi”. Sebuah falsafah yang maknanya sama dengan ajaran Tut Wuri Handayani. Balutan budaya dalam hari lahir Wisma Anging Mammiri ke-58, ternyata tidak berakhir di sini. Pada malam puncak peringatan yang berlangsung di Aula Balaikota Yogyakarta, Sabtu 27 Juni 2010. Silih berganti pementasan budaya dan tradisi lokal ditampilkan. Berturut-turut, tampil Tari Padduppa, Tari Gandrang Bulo, Tari Songkok Recca dari Sulawesi-Selatan, bahkan tari soya-soya dari Ternate. Tak ketinggalan pula lantunan lagu daerah seperti Sulawesi Parasangangta, Indo Logo, Massenreng Mpulu. Menariknya, lagu Sulawesi Parasangangta yang didendangkan dengan komposisi Folk Song diiriingi dengan biola oleh Ovel, mahasiswa asal Timor Leste. (*) *Citizen reporter Suryadin Laoddang dapat dihubungi melalui email adinwajo@yahoo.com

NB : Tulisan ini telah tayang di www.panyingkul.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun