Sungguh Nikmat Menjadi Koruptor, Gugur Satu Tumbuh Seribu
Oleh : Suryadi Maswatu (WARTAWAN)
SUNGGU NIKMAT jadi koruptor di negeri ini. Nikmat karena baik hukuman denda maupun penjara yang harus mereka tanggung sangat tidak sebanding dengan besar duit rakyat yang mereka rampok.
PERANG melawan korupsi di negeri ini seperti peperangan tanpa akhir. Ibarat perjalanan, upaya menuju Indonesia yang bersih dari korupsi merupakan perjalanan yang amat terjal dan berliku.
Sudah beragam penindakan terhadap koruptor dilakukan. Toh, para koruptor tak juga berhenti mencuri dan menjara uang rakyat. Mereka merampok uang negara dengan rupa-rupa modus baru yang kian canggih.
Teramat sering rakyat mendengar sumpah dan janji untuk tidak korupsi meluncur dari mulut para pengelola negara. Namun, teramat sering pula rakyat menyaksikan mereka melanggar sumpah dan janji itu. Bagi mereka, tekad untuk tidak korupsi cuma pemanis bibir, hanya sekadar retorika.
Gugur satu tumbuh seribu. Itu ungkapan yang tepat untuk menggambarkan hasil upaya pemberantasan korupsi sejauh ini. Begitu gencarnya penangkapan para pelaku korupsi dilakukan KPK, korupsi tetap saja marak.
Bahakan setiap tahun diperingati sebagai momentum "sakral" hari Anti Korupsi setiap tanggal 9 Desember. Namun, tak ada efek jerah.
Bahkan penegak hukum terus memberantas, tapi Koruptor terus pula beranak pinak. Seperti ilalang, korupsi di Republik ini terus saja bertumbuh subur meskipun telah berkali-kali dibakar.
Di sini, korupsi seolah telah menemukan habitat terbaiknya sehingga tak gampang mati. Tengoklah sudah berapa puluh atau berapa ratus orang, dari perangkat desa hingga pemimpin lembaga tinggi negara, yang ditangkap karena tersangkut kasus korupsi dan suap. Akan tetapi, hingga hari ini, praktik rasuwah di Indonesia masih saja menggurita, membelit semua lini dan sektor.
Sungguh, ironi korupsi dikala Pandemi. Manakala susah dan bencana sedang banyak terjadi, yang raib dari banyak politisi malah rasa empati.