“Apabila perut terlalu penuh,
Keluarlah fiil yang tiada senonoh.”
(Raja Ali Haji, Gurindam Dua Belas, Pasal III, bait 5)
Perut adalah bagian tubuh manusia yang paling nyata tampak perubahannya seiring pertambahan usia seseorang. Perubahan itu tak mungkin dapat disembunyikan, walau dalam jubah longgar bergaya Hadramaut sekalipun.
Mungkin umur rata-rata manusia Indonesia tak lebih dari 70 tahun, dan memasuki usia setengahnya, malah sering lebih awal, perubahan perut sudah terlihat nyata: membuncit dan melebar ke kiri, ke kanan, dan tak sedikit yang memelar tanpa dapat dikendalikan.
Walau banyak orang, terutama kaum hawa, gundah dengan perubahan pada bagian tengah tubuh ini, tak sedikit pula yang acap tak sadar akan perubahan itu dan menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah dan hal yang biasa saja.
Mungkin ada baiknya jika sesekali Anda, terutama yang sudah berusia kepala lima (dengan demikian juga berarti diri hamba sendiri), berdiri telanjang bulat di depan cermin yang selama ini lebih sering digunakan untuk mematut wajah. Pandanglah lamat-lamat postur tubuh Anda. Perubahan kentara tampak pada poros tengahnya: perut. Bagian tubuh yang selalu disesaki oleh berbagai jenis makanan itu, baik yang alami maupun yang sudah bercampur zat kimia, tampak sudah menggelembung (syukur jika tidak menggelambir) seperti balon ditiup. Ada dua kemungkinan yang terjadi pada pusar yang berada di titik tengahnya: membudur, tersembul ke luar, atau, sebaliknya, menjorok ke dalam, membentuk ceruk seperti lubang undur-undur.
Di depan cermin lebar bening itu, kepala Anda tiba-tiba terasa mengecil dan mengerut seperti karet terpanggang. Dan postur tubuh Anda, layaknya sudah seperti kodok, mungkin lebih persis bagai katak yang sedang mengejan suara di tempat-tempat lembab di malam hari, apabila perut yang makin membuncit itu disertai pula dengan dagu yang membengkak oleh tumpukan lemak yang tanpa diundang bergelayut di sana bagai sarang tawon.
Perut memang bagian tubuh manusia yang paling merepresentasikan hakikat dan sifat manusia itu sendiri: makhluk Tuhan homo homini lupus. Mungkin piranti penting dari hawa nafsu manusia yang membedakan mereka dengan malaikat berada di sebuah tempat di bagian tubuh manusia yang sejak mereka lahir sampai hampir matinya tak henti-hentinya digempur oleh berbagai jenis makanan dan minuman ini. Karena urusan yang terkait dengan perutlah, manusia–makhluk lemah ciptaan Tuhan itu–saling berperang dan berbunuhan, sejak zaman belum berbelum sampai kini.
Banyak orang tak menyadari betapa rakusnya perut mereka sendiri. Hampir tak ada waktu untuk membiarkan bagian tubuh penuh lemak itu kosong. Pagi-pagi ia sudah diisi dengan nasi uduk dengan sayur lodeh dan sepotong-dua ikan asin, ditambah dengan segelas minuman manis; tengah hari semangkok indomie rebus atau sepiring nasi dengan segala lauk-pauknya pun masuk pula; petang atau malam harinya meringsek lagi ke dalamnya sepiring nasi dengan satu-dua macam gulai dan sambal.
Namun, dalam kenyataannya, di luar waktu makan yang rutin itu, perut lebih sering lagi dibombardir oleh berbagai macam camilan dan jenis makanan lainnya. Apalagi di zaman sekarang, ketika gaya hidup modern yang membuat orang lebih sering duduk, di rumah atau di kafe-kafe publik, sambil tak henti-hentinya memencet-mencet dua-tiga gadget di tangan atau menonton televisi, perut pun terus-menerus diisi dengan berbagai macam camilan dan minuman, sajak dari berbagai macam kue dan kerupuk sampai popcorn, sejak dari kopi susu sampai Mecca Cola.