Di tengah menguatnya wacana seputar kemerdekaan Papua akhir-akhir ini, mungkin tidak ada salahnya kita mengingat kembali sejarah nasionalisme bangsa Papua (yang dulu bernama Irian) dan hubungan batin mereka dengan saudara-saudara seperjuangannya dari daerah lain dalam membentuk sebuah nasion baru yang bernama ‘Indonesia’.
Konflik kepentingan yang makin meruncing di Papua, khususnya soal pengelolaan sumber daya alam, yang berdampak kepada banyak aspek lain dalam ranah sosial dan politik, termasuk hak azasi manusia (HAM), telah membuat orang lupa, atau setidaknya mengenyampingkan, sejarah perjuangan masyarakat Papua membebaskan dirinya dari penjajahan Belanda untuk menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
Menjelang peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-71 tahun ini, kiranya tidak ada salahnya kalau kita mencoba kembali mengingat nasionalisme keindonesiaan orang Papua di masa lampau. Salah seorang republiken asal Papua yang namanya makin tenggelam dalam hiruk-pikuk politik negeri ini adalah Silas Papare. Putra Papua asli asal Serui ini adalah pendiri dan pemimpin utama Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII).
Pihak Belanda selalu menonjolkan tokoh-tokoh boneka binaannya, seperti Johan Ariks, Jouwe, Kaseppo, dll., juga selama berlangsungnya persidangan Konferensi Meja Bundar (KMB), 23 Agustus – 2 November 1949 di Den Haag. Belanda menutup rapat-rapat segala informasi yang terkait dengan aktvitas politik Silas Papare dan pemimpin PKII lainnya, seperti B. Aninam, M. Abaa, A. Papara, S. Rumbewas, A. Kamaria, dll.
Perang klaim antara Indonesia dan Belanda terhadap Irian adalah salah satu soal yang pelik dalam KMB. M. Yamin yang menjadi salah seorang juru runding Indonesia dalam KMB terus mematahkan segala argumentasi Belanda yang ingin tetap menguasai Irian. Dengan penjelasan historisnya, antara lain dengan merujuk kitab Negarakertagama, Yamin berargumen bahwa Irian adalah bagian yang sah dari Republik Indonesia.Â
Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (NIT), Ida Anak Agung Gde Agung, bahkan mengultimatum Belanda bahwa jika sampai Irian tidak dimasukkan ke dalam RIS (Republik Indonesia Serikat), maka NIT tidak akan bersedia menandatangani persetujuan apapun dengan Belanda. Sebaliknya, wakil Belanda J.H. Maarseveen, mengancam mundur jika seandainya Irian terpaksa lepas dari tangan Belanda.
Di Serui, gerak-gerik para pemimpin PKII selalu diawasi oleh Belanda dengan ketat. Keluar dari Pulau Serui saja mereka dilarang, apalagi keluar dari wilayah Irian. Baru pada tahun 1949 Silas Papere berhasil sampai di Jawa dengan cara mengelabui otoritas Belanda dengan berpura-pura setuju untuk bekerjasama dengan kaki tangan Belanda Johan Ariks dan kawan-kawannya dan bertemu dengan mereka di Jakarta.Â
Akan tetapi setelah sampai di Jakarta, tanpa diketahui Belanda, Papare pergi ke Yogyakarta untuk menemui Presiden Sukarno. Kepada Bung Karno, Papare menjelaskan perjuangan PKII dan menyampaikan keinginan rakyat Irian untuk menjadi bagian dari Republik Indonesia. Sebelumnya, seorang pejuang kemerdekaan Irian lainnya, Karubui, telah berhasil pula sampai di Jawa. Karubui berpidato dalam salah satu sidang Kongres Nasional Indonesia di mana ia menyampaikan cita-cita rakyat Irian untuk bergabung dengan Republik Indonesia.
Pembuangan Ratulangi ke Serui ternyata telah menghidupkan semangat keindonesiaan di kalangan penduduk pulau itu, yang juga bergaung ke daratan Irian. Ratulangi membuka kesadaran nasionalisme para pemimpin pribumi dan penduduk Serui. Silas Papare yang juga berkenalan dengan Ratulangi semakin yakin dengan perjuangannya untuk membawa rakyat Irian bernaung di bawah bendera Republik Indonesia.