Mohon tunggu...
Suryadi
Suryadi Mohon Tunggu... -

Saya menulis dengan sikap rendah hati. Saya hanya berharap dari apa yang saya tulis, orang lain akan beroleh manfaat, walau mungkin hanya secuil. Dan saya berharap dari manfaat yang diperoleh orang lain dari tulisan saya itu, Tuhan Yang Maha Kuasa akan berkenan membalasnya dengan menunjukkan jalan kebenaran dalam hidup saya. (Personal page: http://www.universiteitleiden.nl/en/staffmembers/surya-suryadi).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi #5: Kuburan

10 September 2016   08:06 Diperbarui: 10 September 2016   09:08 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://katnygjen.blogspot.com

Kuburan adalah terminal terakhir setiap insan penghuni dunia fana ini. Bila nyawa sudah mengoyak ubun-ubun dan terbang membubung ke langit tinggi, jasad yang kaku, pucat lesi dan lekas sekali bonyok akan diantarkan orang dengan bergegas ke kuburan. Dan, bukan seperti kereta api komuter, trem, atau bus antarkota, perjalanan keranda mayat menuju kuburan tidak mengenal istilah transit dan jalan bersimpang. Perjalanan itu cenderung mengambil jalur yang selurus dan sependek mungkin.

Mereka yang ngeri menghadapi cacing, ulat, dan dingin-gelapnya liang lahat, memilih untuk dikremasi, dibakar. Jasad (daging dan tulang) si tampan-jombang, si cantik-molek, atau si kaya-jumawa yang telah kaku, pucat dan pudar, akan meleleh dalam hitungan menit dimakan api yang garang dan kemudian berubah menjadi segenggam-dua abu.

Ada berbagai macam perlakuan orang terhadap kuburan. Itu adalah semacam pertanda bahwa manusia memiliki perspektif yang berbeda-beda terhadap terminal terakhir jasad yang sudah ditinggal pergi oleh ruh itu. Demikianlah umpamanya, ada kuburan yang ditaruh di sebelah batu sandi rumah, di lereng gunung, di pokok pohon besar seperti taru menyan, atau di dalam kompleks rumah ibadah. Tak sedikit pula kuburan yang diletakkan jauh di ujung desa, seolah-olah mayat manusia adalah benda paling hina yang harus dijauhkan dari lingkungan tempat tinggal manusia yang masih hidup. Belum lama berselang tersiar pula berita di media bahwa ada seorang yang super kaya sudah menyiapkan kuburan mewah di dalam rumahnya dan berpesan kepada keluarganya agar dia dikuburkan di situ kalau dia mati.

Di zaman modern ini, ketika waktu terasa berlari makin tertatih-tatih, dan manusia yang menjalaninya semakin kehilangan kesempatan untuk merenung, ingatan kita pada kuburan tampaknya semakin menuju titik nadir. Menipisnya jumlah pengunjung surau dan mesjid dan meruyaknya orang yang wirid tiap hari ke mall-mall, termasuk dalam jam-jam salat fardhu, mengindikasikan menjauhnya bayangan tentang kuburan dalam serabut saraf belakang manusia masa kini.

Ini adalah kurun dimana kematian pun dimaknai dengan cara yang amat sangat duniawi. Wartawan senior Mathias Doeski Pandoe (almarhum) pernah menulis bahwa dalam melayat kematian di masa sekarang kilatan cahaya kamera (juga dari HP-HP mewah) berseliweran. Pendaran cahayanya mengurangi kusyuknya doa-doa dan lantunan ayat al-Qur’an, persembahan terakhir untuk si mayat. Anak-anak yang (terpaksa) datang dari rantau memotret jenazah ayah atau ibu mereka yang sudah terbaring kaku, dan bersisurut jika disuruh membacakan asma Allah di kepala jenazah. Dalam hitungan menit foto-foto si mati terpajang di dunia maya yang dapat disaksikan oleh siapa saja. Sampai mayat tertanam di liang kahat, jepretan kamera dari telepon genggam berbagai merek belum akan berhenti. Dan belum cukup sehari setelah mayat tertanam di kuburan di ujung desa, para perantau pelayat si mati sudah kembali bergegas ke lapangan terbang.

Di bumi yang besar penampangnya tetap tak berubah selama bermilyar tahun ini, tanah pekuburan terus mengalami dinamika pemaknaan. Kini di kota-kota, tanah pekuburan harus dibeli atau disewa. Ada kuburan berbatu nisan mewah, ada yang sederhana, yang merefleksikan status sosial si mati. Yang miskin-papa pening mencari tempat berkubur. Bahkan ada kawula papa yang terpaksa menggendong anaknya yang sudah menjadi mayat ke sana-sini berhari-hari karena tak mampu membayar sebidang tanah untuk menguburkan jasad sang anak.

Nyatalah bahwa dalam urusan terakhir sebelum manusia menjadi tanah, uang pun masih berkuasa dan berbicara lantang. Para penggali kuburan mungkin memiliki segudang cerita mengenai bungkus-bungkus mayat yang hendak pergi ke liang lahat. Ingin sekali saya membaca biografi seorang penggali kuburan, alih-alih untuk membunuh rasa enek dan kebosanan yang memuncak membaca lusinan otobiografi para politikus yang kebanyakan menepuk dada dan cenderung ‘mengepit daun kunyit’.

Kini, di dalam kompleks pemakaman di kota-kota, yang makin diserbu oleh manusia, orang-orang berduit sudah memesan sebidang tanah tempat mayat mereka kelak akan ditanam. Ditemukannya banyak “kuburan fiktif” di Jakarta, sebagaimana telah diberitakan di berbagai media, mungkin refleksikan sifat kontradiktif manusia: kerakusan duniawi di satu sisi dan kesadaran bahwa hidup enak di muka bumi ini suatu ketika akan dihentikan oleh kematian.

Kesan mengenai kuburan dalam ingatan manusia memang selalu berada dalam ambang profan dan sakral. A.A. Navis dalam cerpennya yang monumental ‘Robohnya Surau Kami’ merefleksikannya dalam sikap paradoks tokoh Ajo Sidi dan tokoh Aku yang melihat kematian Garin yang bunuh diri yang akan dikuburkan. Ajo Sidi menyikapi kematian sebagai hal yang biasa dan wajar: bahwa orang mati segera akan dikuburkan, itu adalah kewajiban orang yang masih hidup yang tidak ingin disiksa bau busuk bangkai manusia yang tak tepermanai. Ajo Sidi benar-benar rasional melihat (hubungan) kematian dan kuburan. Oleh karena itu, kematian Garin yang begitu dikenalnya pun tak mempengaruhi jadwal kerjanya. Sementara bagi tokoh Aku dan banyak orang kampung lainnya, kematian Garin dimaknai sebagai peringatan dari Tuhan bahwa mereka, cepat atau lambat, suka atau tidak, juga harus rela melepas nyawa dari tubuh: mati dan dilianglahatkan. Oleh karena itulah, tidak seperti laku Ajo Sidi yang hanya menitipkan kain kafan dan kemudian pergi bekerja, mereka menyempatkan diri pergi melayat ke rumah duka dan menghantarkan jenazah Garin sampai ke pemakaman.

Kini mungkin makin banyak orang yang sudah menjadi ‘Ajo Sidi’-‘Ajo Sidi’ dalam menyilau peristiwa kematian dan penguburan orang yang meninggal. Tokoh Ajo Sidi dalam cerpen Navis ‘Robohnya Surau Kami’ benar-benar representasi antitesis terhadap prinsip asketisme.

Di zaman ini kita melihat sendiri bahwa kehidupan yang kian hiruk pikuk, materialistis, dan kompetitif ini semakin membuat banyak orang mengamalkan potongan nasehat: ‘kejarlah duniamu seolah-olah engkau akan hidup selama-lamanya’, dan cenderung lupa pada potongan kedua: ‘kejarlah akhiratmu seolah-olah engkau akan mati besok pagi.’ Di zaman listrik dan berlimpahnya suara-suara modern-elektronis ini, dari dalam oto mewah Anda yang ber-AC dan berkursi empuk, apakah Anda masih merasa bergidik bila melintas di sebuah kuburan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun