Sebuah ironi yang menyedihkan memang. Di tahun 1940an, Presiden Sukarno, dengan otoritas politik yang ada pada dirinya, langsung menerbitkan paspor Indonesia untuk Charles Tambu, seorang anak imigran yang berasal dari Sri Lanka, yang pernah diejek oleh Belanda sebagai "seorang tambi jang lari dari Singapura, kemudian bercollaborasi dengan Djepang, lalu mendjadi kaki tangan Republik Sukarno-Hatta...” (Madjalah Merdeka, No. 43, Th. II, 22 Oktober 1949: 4), yang bersimpati sepenuh hati dan jiwa kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kini di tahun 2016, menjelang peringatan 71 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, seorang Indonesia asli seasli-aslinya, yang asal suku, tanggal dan tempat kelahirannya begitu jelas (di Sumatera Barat), yang memiliki niat luhur untuk membangun negerinya sendiri, DITOLAK oleh bangsanya sendiri, hanya karena ia (pernah) memiliki paspor Amerika, negeri tempat ia merantau dan menuntut ilmu, yang mungkin dimilikinya dengan alasan-alasan praktis demi memudahkan urusan hidupnya dan keluarganya sehari-hari jauh di rantau orang, tempat ia dan keluarganya sudah cukup lama tinggal.
Pemerintah India dan Israel menerima para diasporanya yang ingin membangun negerinya sendiri, apapun jenis dan warna paspor mereka, tanpa niat mempersulit anak bangsanya yang merantau di luar negeri yang berniat membangun negeri mereka. Hal-hal teknis birokratis seperti yang dialami oleh Arcanda Tahar sebenarnya dapat diatasi oleh pemimpin negerinya yang memangginya pulang, yang tentu saja memiliki ororitas dan kuasa untuk melakukannya. Kasus Arcandra berpotensi mementahkan upaya-upaya pemerintah yang sejak beberapa tahun terakhir ini berusaha menghimpun para diaspora Indonesia (sudah tiga kali pertemuan internasional diadakan untuk tujuan ini: di Los Angeles (6-8 Juli 2012), Jakarta (18-20 Agustus 2013), dan di Jakarta (12-14 Agustus 2015) dalam rangka mengajak mereka bersama-sama membangun bangsa dan negara Indonesia. Kasus Acandra ini mungkin membuar mereka yang suda optimis menjadi pesimis atau ragu-ragu lagi.
Lepas dari semua itu, apa yang dialami oleh Arcandra agaknya menunjukkan bahwa bangsa Indonesia makin lama makin ‘kerdil’ cara berpikirnya.
Leiden, sehari menjelang peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-71.
Suryadi
Universiteit Leiden, Belanda
http://www.universiteitleiden.nl/en/staffmembers/surya-suryadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H