Akhirnya ‘mempelai’ yang belum lama naik pelaminan itu hanya menikmati bulan madu singkat: tak lebih dari 20 hari. Presiden Joko Widodo resemi memberhentikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang baru, Arcandra Tahar, yang beliau lantik dalam Reshuffle jilid 2 Kabinet Kerja, Rabu, 27 Juli 2016 lalu.
Sebagaimana telah sama kita ketahui, Arcandra telah diterpa isu seputar status kewarganegaraannya. Pengganti Sudirman Said yang lama bermukim di Amerika serikat itu terbukti pernah memegang paspor Amerika. Dengan begitu, Arcandra dinilai memiliki cacat hukum ketika diangkat sebagai menteri dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, sebab Indonesia tidak memiliki perjanjian kewarganegaraan ganda dengan USA. Arcandra (atau Presiden Joko Widodo yang menunjuknya sebagai Menteri ESDM) dituduh telah melanggar Undang-undang No. 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan dan Undang-undang No. 39 tahun 2008 tentang kementerian negara.
Arcandra Tahar, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kabinet Kerja. (Sumber: bisnis.liputan6.com)
Entah siapa yang mula-mula menghembuskan isu mengenai status kewarganegaraan Arcandra itu. Hanya dalam hitungan jam isu ini telah menyebar kemana-mana, dibungkus dengan aneka gosip dan celotehan yang lalu lalang bersimpang siur di media sosial. Para lawan
politik Presiden Joko Widodo, juga mereka yang bersembunyi dalam tubuh pemerintahannya sendiri, langsung menyerang Arcandra tanpa ampun. Masyarakat umum dan media pun tidak ketinggalan memperdebatkannya. Akhirnya Presiden Joko Widodo bertindak: Arcandra diberhentikan dari jabatannya sebelum dapat bekerja dan membuktikan kemampuan dirinya.
PASPOR. Itulah yang telah membuat Arcandra terpental dari kursi jabatan prestisius yang baru dua minggu lebih sedikit didudukinya. Paspor, sekeping buku saku tipis yang ajaib itu telah menjadi ‘pedoman’ yang ganjil untuk menentukan identitas dan nasionalisme seseorang. Dengan buku kecil yang aneh itu, derajat manusia diklasifikasikan. Disadari atau tidak, buku kecil yang disebut paspor itu mengandung tenaga rasisme.
Arcandra, putra Indonesia kelahiran Padang, yang ingin mengabdi kepada tanah tumpah darahnya sendiri, jadi terhalang oleh identitas yang dilekatkan kepadanya melalui buku kecil aneh yang disebut paspor itu. Berbagai tuduhan segera dilekatkan kepada dirinya: antek-antek Amerika, orang Minangkabau yang nasionalismenya diragukan, pembohong, pengkhianat negara, dan lain-lain.
Arcandra mungkin satu di antara banyak diaspora Indonesia yang bersedia pulang untuk membangun negaranya. Akan tetapi negerinya sendiri terlalu curiga kepada orang-orang seperti dirinya. Politik Indonesia sudah seperti dunia koboi: para politisi saling jegal untuk mengamankan kepentingan sendiri dan kelompoknya. Makin lama makin jelas bahwa mereka tidak memikirkan rakyat. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang ‘autis’ berdasi yang berlomba-lomba memperkaya diri sendiri.
Begitulah, Arcandra harus pergi karena ulah sekeping paspor yang telah melekatkan berbagai identitas kepada dirinya. Ia harus angkat koper, pergi menjauh dari kemaruk politik Indonesia yang makin tidak berkeruncingan.
Nasib Arcandra sangat bertolak belakang dengan nasib Charles Tambu (1907-1965), diplomat Indonesia di awal kemerdekaan. Bila Arcandra ditolak oleh negerinya sendiri karena sebuah paspor Amerika, Tambu justru bisa menjadi representatif pemerintah Indonesia dalam diplomasi internasional walaupun ia secara keturunan bukan bangsa Indonesia asli.
Charles Tambu, Konsul Jenderal Republik Indonesia di Manila, 1949-1953. (Sumber: Madjalah Merdeka, No. 43, Th. II, 22 Oktober 1949: sampul depan)
Charles Tambu adalah seorang lelaki berdarah Tamil dari orang tua yang merupakan imigran dari Sri Lanka. Akan tetapi ia sangat bersimpati kepada perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. “Charles Tambu: Turunan asing tapi djiwanja Indonesia”, demikian tulis
Madjalah Merdeka, No. 43, Th. II, 22 Oktober 1949:4. Walau bukan berdarah Indonesia, walau asalnya jauh dari Ceylon sana, Tambu telah membela nama Indonesia di berbagai forum internasional, sejak dari New York sampai New Delhi, sejak dari Bangkok sampai Kuala Lumpur. Simpati Tambu terhadang bangsa Indonesia dan sokongan moral dan pengetahuan yang ia berikan bagi perjuangan bangsa Indonesia, telah menggugah hati Presiden Sukarno untuk memberinya
paspor Indonesia. Selepas pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda tahun 1949, Tambu ditunjuk oleh Presiden Sukarno menjadi Konsul Jenderal Indonesia di Manila sampai 1953.
Haji Agus Salim, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, dan Charles Tambu, Konsul Jenderal Republik Indonesia di Manila, dalam sebuah pertemuan, 1949 (Sumber: Madjalah Merdeka, No.43, Th. II, 22 Oktober 1949:5)
Riwayat Charles Tambu dan sumbangsihnya terhadap Republik Indonesia antara lain dinukilkan dalam
Madjalah Merdeka, No. 43, Th. II, 22 Oktober 1949:4-5. Liha
t juga: http://www.loka-majalah.com/terpikat-revolusi-charles-tambu-melawan-kolonialisme/ (dikunjungi 15-8-2016).
Delegasi Indonesia di PBB, Lake Success, Agustus 1947: Haji Agus Salim, St. Sjahrir, Sudjatmoko dan Charles Tambu. (Sumber: http://www.loka-majalah.com)
Delegasi Indonesia di PBB, New York, 1947: St. Sjahrir, Haji Agus Salim, Sumitro Djojohadikusumo, Sudjatmoko, dan Charles Tambu. (Sumber: http://www.idlethink.wordpress.com)
Apa yang hendak saya katakan adalah bawah kisah Charles Tambu memberi gambaran bahwa Republik Indonesia tampak lebih dewasa di usia mudanya dulu di tahun 1940an dan 1950an ketimbang sekarang. Identitas, kebangsaan, nasionalisme di zaman yang heroik itu tidak diukur melalui sekeping buku tipis yang disebut
paspor.
Lihat Politik Selengkapnya