Mohon tunggu...
Suryadi
Suryadi Mohon Tunggu... -

Saya menulis dengan sikap rendah hati. Saya hanya berharap dari apa yang saya tulis, orang lain akan beroleh manfaat, walau mungkin hanya secuil. Dan saya berharap dari manfaat yang diperoleh orang lain dari tulisan saya itu, Tuhan Yang Maha Kuasa akan berkenan membalasnya dengan menunjukkan jalan kebenaran dalam hidup saya. (Personal page: http://www.universiteitleiden.nl/en/staffmembers/surya-suryadi).

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Catatan Lancong #4: Milan: Lebih dari Sekedar Sepakbola

11 Agustus 2016   18:06 Diperbarui: 12 Agustus 2016   19:42 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami mengucapkan selamat tinggal kepada resepsionis Hotel Hermitage Genova, tempat kami menginap selama liburan kami kali ini di Italia, sebelum bertolak ke Milan dengan kereta api paling awal. Hari masih pagi, ketika taksi yang kami pesan lewat resepsionis hotel datang tiga menit kemudian.

Taksi pun muncul dan kami segera meluncur ke Stasiun Genova Piazza Principe. Sepanjang perjalanan ke stasiun, kota kelihatan masih lengang, padahal jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Kami memutuskan naik kereta api ke Milan karena waktu datang kami naik bus. Tiket sekali jalan telah kami beli dua hari sebelumnya dengan harga 61,50 euro untuk berempat, jadi sekitar 15 euro lebih sedikit seorang, tapi anak-anak sebenarnya dapat potongan harga.

Foto 2: Tiba di Stazione Centrale Milan. (Foto dok.: Suryadi)
Foto 2: Tiba di Stazione Centrale Milan. (Foto dok.: Suryadi)
Perjalanan ke Milan ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam. Kota ini menjadi tempat persinggahan kami yang terakhir sebelum kembali ke Belanda. Ketika datang ke Italia minggu lalu, pesawat EasyJet yang kami tumpangi pun mendarat di Milan. Dari kota ini lalu kami naik bus ke Genova. Kami telah mengunjungi Milan dua tahun lalu dalam tour kami ke arah timur dan selatan: Venesia, Bologna. Florence, Pisa dan Roma. Kali ini kami memilih sisi Italia yang sebelahnya lagi: bagian Barat. Oleh karena itu kami segera ke Genova setelah mendarat di Milan pada tanggal 26 Juli pagi.

Pesawat kami akan terbang ke Amsterdam pada jam 20:40. Perjalanan Genova-Milan dengan Trenitalia 35662 terasa singkat karena di bilik kami di gerbong nomor 6 bergabung seorang gadis dan seorang lelaki setengah baya, keduanya orang Italia.

Kami saling bercerita tentang banyak hal, tentu saja juga tentang Milan, kota tujuan kami. Sekitar jam 11:00 kereta api kami sudah sampai di Stazione Centrale, Stasiun Kereta Pusat, Milan. Oleh karena itu kami punya waktu cukup panjang untuk menikmati kembali kota ini lagi, seperti dua tahun lalu.

Foto 3: Di depan Stazione Centrale, Stasiun Kereta Pusat, Milan. (Foto dok.: Suryadi)
Foto 3: Di depan Stazione Centrale, Stasiun Kereta Pusat, Milan. (Foto dok.: Suryadi)
Bus sightseeing di kota Milan menyediakan tiga rute (line) yang boleh digunakan oleh sesiapa saja yang sudah membeli tiket seharga 20 euro. Salah satu rute menyediakan persinggahan ke Stadion San Siro, markas tim sepakbola AC Milan yang terkenal itu. Tiga orang pemuda Indonesia yang kami jumpai memilih rute itu, satu indikasi betapa gilanya orang Indonesia terhadap sepakbola.
Foto 4: Blue Line A 'city tour' Milan. (Foto dok.: Suryadi)
Foto 4: Blue Line A 'city tour' Milan. (Foto dok.: Suryadi)
Milan atau Milano adalah kota bisnis terbesar di Italia bagian utara. Oleh sebab itu kota ini kelihatan lebih sibuk daripada kota-kota lainnya di wilayah yang berbatasan dengan negara Swiss ini. Dari segi budaya dan sejarah, Milan mungkin kalah menarik dari kota-kota Italia lainnya, seperti Roma, Pisa, Venesia dan Genova. Namun demikian, tetap ada banyak hal yang dapat dinikmati oleh para pelancong di Milan.

Bandar udara Milano Malpensa, salah satu dari dua lapangan terbang di Milan, adalah salah satu home-base penerbangan murah Eropa yang terkenal: EasyJet. Memilih terbang ke Milan biasanya orang bisa mendapatkan tiket dengan harga yang lebih murah. Dari Milan orang bisa melanjutkan penerbangan atau naik bus atau kereta api ke banyak destinasi lain.

Itulah yang kami lakukan: kami terbang dari Amsterdam ke Milan terlebih dahulu, baru kemudian naik bus ke Genova. Bila terbang langsung dari Amsterdam ke Genova, harga tiket jauh lebih mahal.

Selama kurang lebih tujuh jam di Milan, kami berkeliling kota dan menyinggahi titik-titik wisata penting yang disarankan oleh leaflet wisata kota Milan. Bulan Juli dan Agustus adalah bulan liburan musim panas di Eropa. Milan, sebagaimana banyak kota lainnya di Italia, dan Eropa pada umumnya, dibanjiri oleh para pelancong dari negara-negara Eropa lainnya. Banyak juga kami temui pelancong dari Jepang, Cina, dan Korea.

Para pelancong kebanyakan berhenti dulu di Piazza Duomo tempat Milan Duomo atau Kathedral Milan dengan arsitekturnya yang berdekorasi impresif itu berada. Dari sana baru kemudian para wisatawan itu melanjutkan kunjungan mereka ke titik-titik wisata lainnya, seperti Castello, Giribaldi, Republica, Porta Venezia, dan lain-lain.

Foto 5: Milan Duomo (Kathedral Milan) di Piazza Duomo. (Foto dok. Suryadi)
Foto 5: Milan Duomo (Kathedral Milan) di Piazza Duomo. (Foto dok. Suryadi)
Di Piazza Duomo mulai terlihat sisi lain dari Italia: para imigran dari Afrika yang berjualan cenderamata, peminta-minta dan gelandangan. Italia, karena letaknya yang berbatasan langsung dengan Laut Tyrrhenian dan Laut Tengah, telah menjadi salah satu tempat pelarian utama banyak pengungsi dari Afrika dan Timur Tengah yang tak juga henti dari konflik politik.

Jutaan orang sudah melarikan diri dari wilayah itu ke Eropa untuk menyelamatkan nyawa mereka. Kebanyakan imigran dari Afrika yang memilih masuk ke Italia biasanya ‘melompat’ dulu ke Lampedusa, pulau yang tak seberapa besar milik Italia yang terletak tak jauh dari lepas pantai Tunisia.

Foto 6: Salah satu sisi dari Piazza Duomo. (Foto dok.: Suryadi)
Foto 6: Salah satu sisi dari Piazza Duomo. (Foto dok.: Suryadi)
Foto 7: Sisi depan (sisi yang lain) dari Piazza Duomo. (Foto dok.: Suryadi)
Foto 7: Sisi depan (sisi yang lain) dari Piazza Duomo. (Foto dok.: Suryadi)
Kini, di kota-kota Italia begitu mudah terlihat banyak pengungsi dari Afrika dan Timur Tengah. Mereka umumnya berjualan cindera mata, barang-barang kaki lima, dan banyak juga yang tidur-tiduran di taman-taman. Dari Asia, kebanyakan imigran yang datang ke Italia berasal dari Bangladesh dan Filipina. Orang Filipina mendapat pekerjaan yang lebih baik di toko-toko, hotel-hotel, dan restoran. Orang Bangladesh kebanyakan berjualan cendera mata di tempat-tempat wisata.

Para imigran di Italia mendapat perlakukan yang cukup baik. Ini berkat himbauan Paus di Vatikan yang menyatakan bahwa mereka, karena alasan kemanusiaan, harus dilindungi dan diperlakukan dengan baik. Ketika kami kembali dari Monaco dua hari sebelumnya, seorang imigran asal Afrika kedapatan tidak membeli tiket di kereta api yang kami tumpangi. Kondrektur kereta hanya menyuruhnya turun saja di stasiun berikutnya. Kalau di Belanda, orang yang ketahuan tidak memiliki tiket seperti itu pasti sudah kena denda atau dilaporkan ke polisi.

Foto 8: Bus wisata 'Milan city tour'. (Foto dok.: Suryadi)
Foto 8: Bus wisata 'Milan city tour'. (Foto dok.: Suryadi)
Foto 9: Penjelasan dalam bus wisata Milan dalam delapan bahasa, juga ada keterangan dalam bahasa yang diperuntukkan bagi anak-anak. Dari Asia baru tersedia Bahasa Cina, Jepang dan Korea. (Foto dok.: Suryadi)
Foto 9: Penjelasan dalam bus wisata Milan dalam delapan bahasa, juga ada keterangan dalam bahasa yang diperuntukkan bagi anak-anak. Dari Asia baru tersedia Bahasa Cina, Jepang dan Korea. (Foto dok.: Suryadi)
Sekitar pukul 18:00 kami meninggalkan kota Milan. Kami naik bus ke Bandara Milano Malpensa yang memakan waktu sekitar satu jam. Bus berangkat dari sisi sebelah kiri Stazione Centrale (Stasiun Kereta Api Pusat), dan sebelum berangkat kami masih sempat membeli sebuah kaos FC AC Milan seharga 120 euro. Mahalnya harga kaos itu menunjukkan bahwa sepakbola pun benar-benar sudah menjadi jualan wisata di sini.
Foto 10: Arco Della Pace. (Foto dok.: Suryadi)
Foto 10: Arco Della Pace. (Foto dok.: Suryadi)
Banyaknya penerbangan malam EasyJet dari Bandara Milan Malpensa ke berbagai destinasi lain di Eropa membuat antrian check in cukup panjang. Tapi kami tidak terlambat dan dapat sampai di ruang tunggu D10 sekitar 15 menit sebelum boarding.

Pesawat kami, EasyJet EZY2731, terbang tepat sesuai jadwal. Sesaat setelah lepas landas, dua anak kami berkata: ‘Liburan selalu terasa singkat’. Akan tetapi kami juga sudah rindu pada rumah sendiri, pada rendang dan gulai sampadeh ikan mackerel. Pada akhirnya memang tiada yang lebih indah daripada rumah sendiri, walaupun itu mungkin hanya sebuah rumah sederhana.

Foto 11: Membeli sebuah kaos FC AC Milan. (Foto dok.: Suryadi)
Foto 11: Membeli sebuah kaos FC AC Milan. (Foto dok.: Suryadi)
Foto 12: Arrividerci Milano! (Foto dok.: Suryadi)
Foto 12: Arrividerci Milano! (Foto dok.: Suryadi)
Penerbangan Milano Malpensa – Schiphol Amsterdam memakan waktu 1,5 jam lebih sedikit. Sebelum pesawat kami mendarat, pramugari EasyJet menjalankan kantong UNICEF kepada para penumpang yang hasilnya digunakan untuk membantu membiayai pengobatan anak-anak yang terkena polio di negara-negara berkembang.

Melihat hal itu terpikir oleh saya mengapa penerbangan-penerbangan murah di Asia Tenggara seperti Air Asia dan Lion Air tidak melakukan hal yang sama? Mereka dapat berperan dalam aksi pengumpulan dana untuk amal. Misalnya, dalam setiap penerbangan Air Asia dan Lion Air, pramugarinya mengedarkan kantong amal untuk membantu biaya sekolah anak-anak dari keluarga miskin atau mungkin juga untuk bantuan kemanusiaan lainnya. Jika dalam satu penerbangan dapat dikumpulkan sekian belas ringgit atau sekian puluh ribu rupiah saja, tentu lama kelamaan jumlahnya akan menjadi besar.

Lamunan saya disentakkan oleh pengumuman pramugari bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat. Akhirnya pesawat mendarat kami dengan mulus di Bandara Schiphol. Para penumpang bertepuk tangan dan kami keluar dari pesawat dengan turun tangga, tidak melalui belalai gajah. Suhu sekitar 19 derajat Celcius, 10 derajat lebih rendah dari suhu di Genova. Kami telah kembali ke ‘alam nyata’. Kiranya tak salah jika nenek moyang kami di zaman kolonial menyebut Belanda dengan nama ‘Tanah Dingin’.

Lihat juga: boyyendratamin.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun