Kami mengucapkan selamat tinggal kepada resepsionis Hotel Hermitage Genova, tempat kami menginap selama liburan kami kali ini di Italia, sebelum bertolak ke Milan dengan kereta api paling awal. Hari masih pagi, ketika taksi yang kami pesan lewat resepsionis hotel datang tiga menit kemudian.
Taksi pun muncul dan kami segera meluncur ke Stasiun Genova Piazza Principe. Sepanjang perjalanan ke stasiun, kota kelihatan masih lengang, padahal jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Kami memutuskan naik kereta api ke Milan karena waktu datang kami naik bus. Tiket sekali jalan telah kami beli dua hari sebelumnya dengan harga 61,50 euro untuk berempat, jadi sekitar 15 euro lebih sedikit seorang, tapi anak-anak sebenarnya dapat potongan harga.
Pesawat kami akan terbang ke Amsterdam pada jam 20:40. Perjalanan Genova-Milan dengan Trenitalia 35662 terasa singkat karena di bilik kami di gerbong nomor 6 bergabung seorang gadis dan seorang lelaki setengah baya, keduanya orang Italia.
Kami saling bercerita tentang banyak hal, tentu saja juga tentang Milan, kota tujuan kami. Sekitar jam 11:00 kereta api kami sudah sampai di Stazione Centrale, Stasiun Kereta Pusat, Milan. Oleh karena itu kami punya waktu cukup panjang untuk menikmati kembali kota ini lagi, seperti dua tahun lalu.
Bandar udara Milano Malpensa, salah satu dari dua lapangan terbang di Milan, adalah salah satu home-base penerbangan murah Eropa yang terkenal: EasyJet. Memilih terbang ke Milan biasanya orang bisa mendapatkan tiket dengan harga yang lebih murah. Dari Milan orang bisa melanjutkan penerbangan atau naik bus atau kereta api ke banyak destinasi lain.
Itulah yang kami lakukan: kami terbang dari Amsterdam ke Milan terlebih dahulu, baru kemudian naik bus ke Genova. Bila terbang langsung dari Amsterdam ke Genova, harga tiket jauh lebih mahal.
Selama kurang lebih tujuh jam di Milan, kami berkeliling kota dan menyinggahi titik-titik wisata penting yang disarankan oleh leaflet wisata kota Milan. Bulan Juli dan Agustus adalah bulan liburan musim panas di Eropa. Milan, sebagaimana banyak kota lainnya di Italia, dan Eropa pada umumnya, dibanjiri oleh para pelancong dari negara-negara Eropa lainnya. Banyak juga kami temui pelancong dari Jepang, Cina, dan Korea.
Para pelancong kebanyakan berhenti dulu di Piazza Duomo tempat Milan Duomo atau Kathedral Milan dengan arsitekturnya yang berdekorasi impresif itu berada. Dari sana baru kemudian para wisatawan itu melanjutkan kunjungan mereka ke titik-titik wisata lainnya, seperti Castello, Giribaldi, Republica, Porta Venezia, dan lain-lain.
Jutaan orang sudah melarikan diri dari wilayah itu ke Eropa untuk menyelamatkan nyawa mereka. Kebanyakan imigran dari Afrika yang memilih masuk ke Italia biasanya ‘melompat’ dulu ke Lampedusa, pulau yang tak seberapa besar milik Italia yang terletak tak jauh dari lepas pantai Tunisia.
Para imigran di Italia mendapat perlakukan yang cukup baik. Ini berkat himbauan Paus di Vatikan yang menyatakan bahwa mereka, karena alasan kemanusiaan, harus dilindungi dan diperlakukan dengan baik. Ketika kami kembali dari Monaco dua hari sebelumnya, seorang imigran asal Afrika kedapatan tidak membeli tiket di kereta api yang kami tumpangi. Kondrektur kereta hanya menyuruhnya turun saja di stasiun berikutnya. Kalau di Belanda, orang yang ketahuan tidak memiliki tiket seperti itu pasti sudah kena denda atau dilaporkan ke polisi.
Pesawat kami, EasyJet EZY2731, terbang tepat sesuai jadwal. Sesaat setelah lepas landas, dua anak kami berkata: ‘Liburan selalu terasa singkat’. Akan tetapi kami juga sudah rindu pada rumah sendiri, pada rendang dan gulai sampadeh ikan mackerel. Pada akhirnya memang tiada yang lebih indah daripada rumah sendiri, walaupun itu mungkin hanya sebuah rumah sederhana.
Melihat hal itu terpikir oleh saya mengapa penerbangan-penerbangan murah di Asia Tenggara seperti Air Asia dan Lion Air tidak melakukan hal yang sama? Mereka dapat berperan dalam aksi pengumpulan dana untuk amal. Misalnya, dalam setiap penerbangan Air Asia dan Lion Air, pramugarinya mengedarkan kantong amal untuk membantu biaya sekolah anak-anak dari keluarga miskin atau mungkin juga untuk bantuan kemanusiaan lainnya. Jika dalam satu penerbangan dapat dikumpulkan sekian belas ringgit atau sekian puluh ribu rupiah saja, tentu lama kelamaan jumlahnya akan menjadi besar.
Lamunan saya disentakkan oleh pengumuman pramugari bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat. Akhirnya pesawat mendarat kami dengan mulus di Bandara Schiphol. Para penumpang bertepuk tangan dan kami keluar dari pesawat dengan turun tangga, tidak melalui belalai gajah. Suhu sekitar 19 derajat Celcius, 10 derajat lebih rendah dari suhu di Genova. Kami telah kembali ke ‘alam nyata’. Kiranya tak salah jika nenek moyang kami di zaman kolonial menyebut Belanda dengan nama ‘Tanah Dingin’.
Lihat juga: boyyendratamin.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H