Mohon tunggu...
Suryadi
Suryadi Mohon Tunggu... -

Saya menulis dengan sikap rendah hati. Saya hanya berharap dari apa yang saya tulis, orang lain akan beroleh manfaat, walau mungkin hanya secuil. Dan saya berharap dari manfaat yang diperoleh orang lain dari tulisan saya itu, Tuhan Yang Maha Kuasa akan berkenan membalasnya dengan menunjukkan jalan kebenaran dalam hidup saya. (Personal page: http://www.universiteitleiden.nl/en/staffmembers/surya-suryadi).

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Catatan Lancong #4: Milan: Lebih dari Sekedar Sepakbola

11 Agustus 2016   18:06 Diperbarui: 12 Agustus 2016   19:42 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto 1: Trenitalia 35662 yang kami tumpangi dari Genova ke Milan. (Foto dok.: Suryadi)

Para imigran di Italia mendapat perlakukan yang cukup baik. Ini berkat himbauan Paus di Vatikan yang menyatakan bahwa mereka, karena alasan kemanusiaan, harus dilindungi dan diperlakukan dengan baik. Ketika kami kembali dari Monaco dua hari sebelumnya, seorang imigran asal Afrika kedapatan tidak membeli tiket di kereta api yang kami tumpangi. Kondrektur kereta hanya menyuruhnya turun saja di stasiun berikutnya. Kalau di Belanda, orang yang ketahuan tidak memiliki tiket seperti itu pasti sudah kena denda atau dilaporkan ke polisi.

Foto 8: Bus wisata 'Milan city tour'. (Foto dok.: Suryadi)
Foto 8: Bus wisata 'Milan city tour'. (Foto dok.: Suryadi)
Foto 9: Penjelasan dalam bus wisata Milan dalam delapan bahasa, juga ada keterangan dalam bahasa yang diperuntukkan bagi anak-anak. Dari Asia baru tersedia Bahasa Cina, Jepang dan Korea. (Foto dok.: Suryadi)
Foto 9: Penjelasan dalam bus wisata Milan dalam delapan bahasa, juga ada keterangan dalam bahasa yang diperuntukkan bagi anak-anak. Dari Asia baru tersedia Bahasa Cina, Jepang dan Korea. (Foto dok.: Suryadi)
Sekitar pukul 18:00 kami meninggalkan kota Milan. Kami naik bus ke Bandara Milano Malpensa yang memakan waktu sekitar satu jam. Bus berangkat dari sisi sebelah kiri Stazione Centrale (Stasiun Kereta Api Pusat), dan sebelum berangkat kami masih sempat membeli sebuah kaos FC AC Milan seharga 120 euro. Mahalnya harga kaos itu menunjukkan bahwa sepakbola pun benar-benar sudah menjadi jualan wisata di sini.
Foto 10: Arco Della Pace. (Foto dok.: Suryadi)
Foto 10: Arco Della Pace. (Foto dok.: Suryadi)
Banyaknya penerbangan malam EasyJet dari Bandara Milan Malpensa ke berbagai destinasi lain di Eropa membuat antrian check in cukup panjang. Tapi kami tidak terlambat dan dapat sampai di ruang tunggu D10 sekitar 15 menit sebelum boarding.

Pesawat kami, EasyJet EZY2731, terbang tepat sesuai jadwal. Sesaat setelah lepas landas, dua anak kami berkata: ‘Liburan selalu terasa singkat’. Akan tetapi kami juga sudah rindu pada rumah sendiri, pada rendang dan gulai sampadeh ikan mackerel. Pada akhirnya memang tiada yang lebih indah daripada rumah sendiri, walaupun itu mungkin hanya sebuah rumah sederhana.

Foto 11: Membeli sebuah kaos FC AC Milan. (Foto dok.: Suryadi)
Foto 11: Membeli sebuah kaos FC AC Milan. (Foto dok.: Suryadi)
Foto 12: Arrividerci Milano! (Foto dok.: Suryadi)
Foto 12: Arrividerci Milano! (Foto dok.: Suryadi)
Penerbangan Milano Malpensa – Schiphol Amsterdam memakan waktu 1,5 jam lebih sedikit. Sebelum pesawat kami mendarat, pramugari EasyJet menjalankan kantong UNICEF kepada para penumpang yang hasilnya digunakan untuk membantu membiayai pengobatan anak-anak yang terkena polio di negara-negara berkembang.

Melihat hal itu terpikir oleh saya mengapa penerbangan-penerbangan murah di Asia Tenggara seperti Air Asia dan Lion Air tidak melakukan hal yang sama? Mereka dapat berperan dalam aksi pengumpulan dana untuk amal. Misalnya, dalam setiap penerbangan Air Asia dan Lion Air, pramugarinya mengedarkan kantong amal untuk membantu biaya sekolah anak-anak dari keluarga miskin atau mungkin juga untuk bantuan kemanusiaan lainnya. Jika dalam satu penerbangan dapat dikumpulkan sekian belas ringgit atau sekian puluh ribu rupiah saja, tentu lama kelamaan jumlahnya akan menjadi besar.

Lamunan saya disentakkan oleh pengumuman pramugari bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat. Akhirnya pesawat mendarat kami dengan mulus di Bandara Schiphol. Para penumpang bertepuk tangan dan kami keluar dari pesawat dengan turun tangga, tidak melalui belalai gajah. Suhu sekitar 19 derajat Celcius, 10 derajat lebih rendah dari suhu di Genova. Kami telah kembali ke ‘alam nyata’. Kiranya tak salah jika nenek moyang kami di zaman kolonial menyebut Belanda dengan nama ‘Tanah Dingin’.

Lihat juga: boyyendratamin.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun