“Enjoy your trip to Torino, Signor”, kata resepsionis hotel tempat kami penginap yang beralamat di Via A. Liri, 29, 16145 Genova, sesaat sebelum taksi membawa kami ke Genova Piazza Principe, stasiun kereta api utama kota Genova. Sekitar 15 menit kemudian taksi pun sampai di stasiun.
Dan kami pun minum kopi dengan croissant di kafe dalam kompleks stasiun terlebih dahulu sebelum menuju peron nomor 14 tempat kereta api yang akan membawa kami ke Torino akan datang dalam waktu 10 menit lagi.
Berbeda dengan perjalanan kami ke Manaco, di sepanjang rute kereta kami ke Torino tidak tampak lagi bibir-bibir pantai yang disaput laut biru. Di luar jendela kereta, yang beberapa kali menjadi gelap karena memasuki terowongan, yang terlihat hanyalah hijau daun pepohonan dan hamparan ladang-ladang jagung, yang diselingi oleh rumah-rumah penduduk. Kereta kami melewati dan menyinggahi beberapa kota – Rigoroso, Alessandria, Solero, Felizzano, Asti, Monchallieri, Tonito Lingotto, untuk sekedar menyebut beberapa nama – sebelum akhirnya berhenti di Stasiun Torino Porta Nuova pada pukul 10:00.
Leaflet wisata segera memberi tahu kami tentang tempat-tempat yang mesti dikunjungi: Piazza Castello, Palazzo Madama, Cappuccini, Piazza Carlo, Università di Torino (yang menjadi kesohor karena Azechia Marco Lombroso [1835-1909], si pencipta teori ‘Criminal Atavism’ yang terkenal itu), dan banyak lagi. Serta tentunya juga Stadion San Siro, markas FC. Juventus yang terkenal itu, yang gemanya sampai ke pinggir Kali Ciliwung dan Begawan Solo.
Satu hal penting yang dapat dicatat dari penjelasan yang disajikan dalam delapan bahasa itu adalah: bahwa setiap bangunan bersejarah yang kelihatan kokoh itu adalah refleksi dari kekuasaan ganti-berganti di masa lampau yang tak jarang memerintah dengan tirani dan tangan besi.
Selebihnya adalah hasil karya para super kaya pemuja dan penuhan uang yang dengan fulus dan kekuasaannya membangun rumah-rumah mewah di kaki bukit di seberang Sungai Po (Po River ) yang memisahkan pusat kota Torino dengan pinggir kota.
Berempat kami menapaki lorong-lorong kota Torino sembari membayangkan Hannibal dengan pasukan gajahnya memasuki arketip kota ini di tahun 218 Sebelum Masehi, setelah tiga hari bertahan dalam kepungan tentara sang penakluk dari Magribi itu.
Menjelang sore, saat menambah energi di sebuah kafe, terbayang lagi oleh kami riuh rendah kota itu dalam derap langkah kuda-kuda perang pasukan Napoleon, sebelum si jenderal mungil dari Perancis itu dijinakkan tahun 1814, yang memberi jalan kepada Dinasti Piedmont-Sardinia untuk merestorasi kota Torino dan menjadikannya sebagai ibu kota kerajaan, mengembalikan kejayaan Dinasti Duchy of Savoy yang menguasai wilayah ini di kurun ke-16.
Kami serasa sudah sampai di Stasiun Kuraitaji dalam perjalanan dengan kereta api dari Bukitinggi, kota utama orang darek itu. Kami sampai di hotel ketika siang musim panas Eropa yang panjang telah mulai berubah menjadi remang.
Ketika makan malam di hotel, kami memesan sepiring kerang hijau berlumur minyak zaitun dan lada hitam dan seekor ikan kerapu goreng. Itu cukup untuk memenuhi ‘selera pantai’ kami walau dimasak tidak pakai cabe rawit mengapung dalam kuah santan pekat berkelintin seperti gulai capa dan situhuak di Pantai Tiram dan Pariaman.
Lihat juga: www.boyyendratamin.com