Kritik
Menurut Soedjana, hukuman adat ini sangat memberatkan si ibu dan anaknya. Katanya: “[D]isebabkan oléh atoeran atoeran penjiksaan jang kerap kali terdjadi sebagai terseboet di atas itoe...maka kebanjakan anak-anak jang lahir sematjam itoe [kembar buncing] mati dalam ‘oemoer jang amat péndek, jaïtoe mati dalam pondok [isolasi]nja sebeloem ber’oemoer 7 hari.”
Si penulis mengekspresikan kesedihannya. Ia mengatakan bahwa kebanyakan wanita yang mengalami hukuman adat seperti itu terlihat sangat kurus dan sangat letih. Mereka masih harus memenuhi kewajiban lagi membuat sajen Metjaroe dengan tanggungan ongkos yang amat berat. Mereka yang tidak punya uang sering terpaksa “mendjoeal roemahnja atau sawah ladangnja.”
“Achiroe’lkalam”, demikian Soedjana mengakhiri tulisannya, “besar pengharapan penoelis, moedah-moedahan atoeran itoe lambat laoen dapat dilenjapkan sama sekali, serta diperhatikan poela oléh jang berwadjib.”
Tulisan Soedjana yang terbit 90 tahun lalu itu menunjukkan bahwa kritik terhadap kepercayaan orang Bali tentang anak kembar buncing sudah lama muncul. Tampaknya sampai sekarang orang Bali masih mempercayainya, sebagaimana terefleksi dalam novel Incest karya Wayan Artika (Yogyakarta: Pinus, 2005). Novel ini sempat menimbulkan gejolak di Bali karena di dalamnya Wayan Artika mengeritik kekolotan adat menyangkut kembar buncing, tidak hanya tentang perlakuan kepada mereka ketika masih bayi, tapi juga tentang keharusan kepada mereka untuk melakukan kawin incest ketika sudah dewasa. Novel Incest menyuarakan pendapat bahwa adat yang menyangkut kembar buncing tidak sesuai lagi dengan zaman sekarang.
Menurut Katrin Bandel yang mengulas Incest dalam bukunya, Sastra, Perempuan, Seks (Yogyakarta: Jalasutra, 2006: 129-134), gugatan terhadap novel ini mungkin terkait dengan kesan (image) tentang Bali yang merupakan objek turisme dunia, sehingga “timbul rasa bangga yang sangat kuat [di kalangan orang Bali] dengan budaya sendiri yang tidak dimiliki kebanyak kelompok etnis lain” (133). Katrin mencatat pula, kritik terhadap adat dalam novel Incest cukup berbeda dengan kebanyakan novel berlatar Bali lainnya, termasuk yang terbit di zaman kolinial, di mana mitos pengukuhan terhadap adat lebih kuat dibanding mitos pembebasan. Dengan kenyataan ini dapat dipahami mengapa orang Bali masih kuat memegang tradisi di zaman modern ini dibanding kebanyakan etnik lainnya yang hidup di Indonesia.
Dr. Suryadi, MA.
Staf pengajar Department of South and Southeast Asian Studies
Institute for Area Studies, Universiteit Leiden, Belanda
(http://www.universiteitleiden.nl/en/staffmembers/surya-suryadi)
(https://niadilova.wordpress.com/)