Dalam setahun belakangan ini obrolan manusia Indonesia seputar janji terdengar agak bersipongang. Orang-orang dari berbagai merek – lawan politik, pengamat politik bayaran, kaum ulama, anggota parlemen, dan kawula awam aggota parlemen lepau kopi – mempertanyakan komitmen dan janji Joko Widodo (Jokowi). Presiden Indonesia itu dinilai ingkar janji: dulu semasa menjadi Walikota Solo dia telah meninggalkan posnya sebelum selesai masa jabatannya karena terpilih menjadi Walikota DKI Jakarta; baru dua tahun menjabat Walikota DKI Jakarta, Jokowi mencalonkan diri (atau dicalonkan oleh partainya, PDI moncong putih) menjadi presiden Republik Indonesia dalam Pemilu 2014. Oleh karena itu Jokowi dinilai telah mungkir janji pula: berniat meninggalkan posnya sebelum masa jabatannya selesai. ‘Apakah orang yang sering mungkir janji bisa dipercaya?’, begitu antara lain komentar yang terdengar.
Pemilu 2014 telah menghantarkan Jokowi ke kursi kekuasaan sebagai Presiden Indonesia, menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono. Rakyat Indonesia menunggu realisasi janji-janji kampanyenya. Akan tapi, apa lacur! Ternyata kenyataan yang dialami oleh rakyat Indonesia makin jauh dari hal-hal yang dijanjikan oleh Jokowi. Banyak orang mulai kecewa, pun sebagian dari orang-orang yang mendukungnya semasa kampanye, termasuk wong cilik yang ketika masa kampanye begitu mendukung dan mengidolakannya sebagai sosok pemimpin yang merakyat. Kasus Presiden Jokowi adalah peringatan kepada sesiapa saja: bahwa jangan begitu mudah berjanji, apalagi kalau Anda seorang pemimpin.
Sesungguhnya janji sarat dengan warna sosial-budaya. Lain bangsa lain paradigma janjinya, mirip dengan belalang yang berbeda di setiap padang. Di negeri ini, kalau berjanji, jawaban pemenuhannya sering dengan kata ‘Insya Allah’. Kata itu biasanya mudah saja diucapkan oleh lidah yang tak bertulang. Meskipun sering membawa-bawa nama Tuhan, orang sering mudah saja mungkir janji. Banyak bibir ringan saja membuat janji, tapi sulit menepatinya.
Kalau di negeri Belanda, misalnya, janji (afspraak) harus dituliskan di buku agenda kedua pihak yang berjanji. Sebabnya: yang hanya diucapkan begitu saja sering cepat terlupakan. Oleh sebab itu masing-masing orang wajib punya buku agenda sendiri. Jika salah satu pihak yang berjanji ingin membatalkan janji yang sudah disepakati, maka paling lambat 24 jam sebelum janji jatuh, harus ada pemberitahuan pembatalan. Dalam kasus-kasus tertentu, janji yang tidak ditepati tetap menimbulkan konsekuensi keuangan.
Misalnya, kalau seseorang berjanji dengan dokter pribadinya untuk periksa kesehatan, lalu orang itu tidak datang tanpa pemberitahuan pembatalan janjinya paling lambat 24 jam sebelumnya, maka rekening pembayaran tetap akan datang kepada orang itu. Walau tidak jadi diperiksa kesehatannya, orang itu tetap harus bayar karena dokter telah kehilangan waktunya dengan sia-sia.
Kultur janji dalam masyarakat kita mungkin terefleksi dalam ungkapan Minangkabau ‘Janji biaso mungkia, titian biaso lapuak’ (‘janji biasa mungkir, titian biasa lapuk’).Ungkapan ini sering diplintir oleh orang-orang galir: katanya, janji yang luar biasa tentu tidak dimungkiri. Umpamanya, berjanji membayar utang pada tanggal tertentu, tiba-tiba dengan.tanpa rasa bersalah dimungkiri. Akibantya, muncul pertengkaran, bahkan bisa sampai saling berbunuhan.
Dalam praktek yang lebih luas, cerminan pradigma janji dalam masyarakat kita terefleksi dalam budaya jam karet. Kebiasaan ngaret ditemukan dalam kegiatan apa saja: mulai dari acara-acara resmi di kantor sampai kegiatan-kegiatan yang bersifat informal dan pribadi. Banyak orang tak pernah merasa berasalah jika datang terlambat dari jadwal janji yang telah semula sudah disepakati. Ini merefleksikan cara masyarakat kita memaknai waktu, kurang menghargainya dan sering membuang-buangnya tanpa menghasilkan sesuatu.
Hampir bisa dipastikan bahwa tingkat ketepatan memenuhi janji adalah salah satu indikator penting dari kemajuan sebuah bangsa. Sebab janji terkait erat dengan komitmen, penghargaan terhadap waktu, dan pada gilirannya menentukan produktifitas kerja sebuah bangsa. Banyaknya janji yang dimungkiri berarti banyak pula waktu yang terbuang percuma. Sebaliknya, konsistennya anggota masyarakat dalam memenuhi janji, berarti mereka efektif pula memanfaatkan waktu.
Ayat-ayat Al-Quran telah mengingatkan kita bahwa janji yang dibuat harus dipenuhi, sebab jika tidak nanti akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. Janji adalah hutang, dan setiap hutang wajib dibayar. Akan tetapi dalam kenyataan sehari-hari, kita melihat betapa mudahnya orang ingkar janji. ‘Kau yang berjanji, kau yang mengingkari’, kata sepotong lirik lagu dangdut. Begitulah kenyataan yang kita lihat sekarang. Baik orang biasa maupun orang-orang besar (para penguasa) yang mestinya memberi contoh yang baik kepada masyarakat umum, cenderung tidak setia pada janji yang mereka buat sendiri.
Cara seseorang memperlakukan janji merefleksikan disiplin dirinya. Yang sering mungkir janji tandanya belum mampu menerapkan disiplin pada diri sendiri. Setiap janji yang ditepati adalah representasi sifat Tuhan; setiap janji yang diingkari adalah perwujudan tabiat setan.
* Diolah kembali dari esai dengan judul yang sama yang pernah terbit di harian Padang Ekspres, Minggu, 24 April 2014.