Tupai malompek ka halaman,
Nan bangkak dalam baju?
Itulah sarugo tampaik tangan.
Sarjana Malaysia, Muhammad Haji Salleh dan dosen Universitas Andalas Ivan Adilla pernah menerbitkan sekitar 900 bait pantun yang diseleksi dari koleksi tersebut yang diberi terjemahan Melayunya. Buku itu berjudul Layarkan Kapal dalam Embun: Sepilihan Pantun Minangkabau (Pulau Pinang: Penerbit Universiti Sains Malaysia, 2011). Akan tetapi tampaknya cukup sulit menerjemahkan pantun Minangkabau klasik yang memiliki gaya bahasa metafora dan hiperbola yang pekat itu. Oleh sebab itu di sini saya tidak menyediakan terjemahan pantun-pantun yang dikutip, yang tentu saja tidak menjadi soal bagi pembaca dari etnis Minangkabau tapi mungkin tidak atau kurang dimengerti oleh pembaca dari etnis lain.
Munurut hemat saya kira penerbitan khazanah pantun Minangkabau klasik yang masih tersimpan dalam lusinan manuskrip di Leiden University Library itu akan banyak manfaatnya. Demikianlah umpamanya, para seniman dan praktisi musik pop Minangkabau tentu boleh mengambil pantun-pantun itu untuk bahan gubahan lagu, atau paling tidak menggali inspirasi darinya. Tentu tidak kurang juga manfaatnya bagi ilmu pengetahuan. Namun, yang paling penting adalah bahwa melaluinya kita dapat melengkapi pengetahuan kita mengenai estetika pantun Minangkabau.
Catatan: Versi yang awal dari artikel ini, dengan sedikit variasi pada judulnya, dimuat dalam blog pribadi saya yang versi cetaknya diterbitkan di harian Padang Ekspres, Minggu, 7 November 2010.
Dr. Suryadi, MA.
Staf pengajar Department of South and Southeast Asian Studies
Institute for Area Studies, Universiteit Leiden, Belanda
(http://www.universiteitleiden.nl/en/staffmembers/surya-suryadi)