>> Di DPR RI: KMP 291 Kursi, Demokrat 61 Kursi, KIH 208 Kursi
>> Di MK: Dua anggota majelis hakim berasal dari KMP
Oleh Suryadi
SETELAH “dipermalukan” partainya sendiri (Demokrat) terkait 25 September lalu DPR RI 2009 – 2014 mengesahkan UU Pilkada yang mengembalikan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kepada DPRD, Presiden SBY memastikan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undandang Undang (Perppu).
Inisiatif Presiden ke-6 RI yang akan mengakhiri masa tugasnya 20 Oktober 2014 ini, tentu saja disambut suka-cita oleh rakyat serta berbagai kalangan penggiat demokrasi dan akademisi. Namun, tak urung pesimistis tetap saja meronai harapan besar rakyat untuk dapat menentukan sendiri pemimpin lokalnya, mengingat mayoritas lebih dari separuh kursi DPR RI 2014 – 2019 dikuasai Koalisi Merah Putih (KMP) –koalisi yang mengembalikan Pilkada ke DPR.
Memang, fakta riilnya, DPR RI 2014 – 2019 diisi oleh 57% wajah baru dan 43% wajah lama. Mereka dilantik Rabu, 1 Oktober 2014. Di antara wajah baru itu, di samping mereka yang sebelumnya betrgelut di politikmpraktis dan birokrat, juga terdapat mereka yang ahli di bidangnya masing-masing seperti pengusaha, pesinetron, penyanyi, dan atlet yang semua itu jauh dari bagaimana berpirah politik di Parlemen.
Apakah mereka itu “kader karbitan” atau kader yang memang sudah dipersiapkan bertahun-tahun sambil menjalani profesi masing-masing? Ini semua akan dibuktikan pada bagaimana mereka jujur dengan hati-nurani masing-masing dalam membaca dan memperjuangkan cita-cita rakyat tentang suatu Indonesia yang demokratis dan mensejahterakan, seperti diamanatkan oleh UUD ’45 dan Pancasila. Artinya, dalam mengidentifikasikannya tidak sekadar menggunakan ilmu “gutak-gatuk” sehingga UUD ’45 dan Pancasila sekadar dijadikan alat pembenaran.
Akankah kualitas DPR RI --sesuai dg fungsi utamanya “legislation”, “budgeting”, dan “controlling”-- akan meningkat signifikan olegh kehadiran "darah segar" itu? Atau malah sebaliknya bagai napi pemula yg masuk "jail", begitu bebas malah “lebih criminal” ketimbang waktu-waktu sebelumnya? Salah satu parameternya adalah bagaimana mereka memandang demokrasi. Dalam waktu dekat ini, demokrasi yang dimaksudu adalah dalam konteks Pilkada Langsung dan Pilkada oleh DPRD untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota.
Akankah Perppu yang diajukan SBY buyar di DPR RI? Perppu yang menghendaki Pemilukada Langsung dengan 10 syarat (perbaikan di sana-sini), memang masih harus diajukan ke DPR (12014 - 2019) untuk mendapatkan persetujuan. Ganjalan yang paling nyata yang akan mengganjal Perpu tersebut menyembul dari dominasi Parpol yang menguasai mayoritas anggotanya yang duduk di DPR RI. Jika ini yang terjadi, maka yang muncul menonjol, tidak terlalu berlebihan maka mereka itu bukanlah wakil rakyat, melainkan wakil Parpol. Artinya, ada kegagalan Parpol dalam menentukan kadernya untuk berkata “Tidak” atau “Ya” di saat nurani menentukan harus berpihak kepada rakyat pemilih sah daulat.
Sebagaimana diketahui KMP yang terdiri atas Gerindra (73 kursi), Golkar (91), PAN (48), PKS (40), PPP (39) telah sukses mengembalikan Pilkada ke DPRD dan hingga kini tetap bersikeras mempertahankannya. Meski, sebenarnya sukses itu juga berkat “kebaikan” Demokrat yang bersandiwara seolah berpihak pada “Pilkada langsung dengan 10 syarat perbaikan”, kemudian melakukan “walkout” dengan alasan usulannya tidak diterima sebagai opsi lain di antara opsi Pilkada Langsung dan Pilkada oleh DPRD.
KMP berkekuatan 283 kursi dari 560 anggota DPR RI 2014 - 2019. Melihat kecenderungannya, KMP ketimbang harus bermusyawarah, mereka lebih mendorong kepada voting seperti yang mereka lakukan ketika mengembalikan Pilkada ke DPRD tanggal 25 September lalu. Artinya, tanpa “didukung” Demokrat sekalipun –dengan cara abstain atau “walkout”— KMP tetap akan memenangkan voting dan kian memantapkan Pilkada oleh DPRD.
Berikut ini kita lihat komposisi kursi di DPR RI 2014 – 2019 yang akan membahas Perppu tersebut:
1.Koalisi Indonesia Hebat (KIH) 208 kursi terdiri dari PDIP 109 kursi, PKB (47), Nasdem (36), dan Hanura 16 kursi
2. Partai Demokrat (PD): 61 kursi
3.Koalisi Merah - Putih (KMP) terdiri atas 291 kursi, Golkar (91), Gerindra (73), PAN (48), PKS (40), dan PPP 39kursi
DENGAN asumsi bahwa Demokrat ikut ke KIH pun, tetap saja KIH kalah suara. Selisih 15 suara untuk kemenangan KMP. Lantas, langkah apa lagi yg mau ditempuh SBY yang akan lengser 20 Oktober 2014?
Satu-satunya harapan kini bergantung kepada uji materi oleh Mahkamah Konstitusi (MK), yang kita ketahui dua di antara 9 majelis hakimnya berasal dari Parpol pendukung kuat sikap KMP, yaitu Ketua MK Hamdan Zoelfa (PBB, non parlemen) dan Patrialis Akbar (PAN). Saat ini pimpinan koalisi KIB, Partai Nasdem, dan berbagai kalangan penggiat demokrasi dengan dukungan riil rakyat telah dan amsih akan mengajukan “yudicial review” MK.
Yang paling dikhawatirkan bila kedua hakim MK tersebut terjangkit “penyakit cintanya” pada Parpol asalnya (PBB dan PAN), dan kemudian mampu membuat tujuh rekannya yang lain bersepakat: “Sudahlah, biarkan tetap saja Pilkada dilaksanakan oleh DPR, bukankah sengketa Pilpres 2014 sudah dimenangkan oleh KIH. Jadi, yang ini utuk KMP.” Tentu saja, dalam amarnya majelis tidak akan mencantumkan kalimat seperti itu. Masih terlalu banyak “bungkus” bisa digunakan untuk mengkamuflase. Jika ini “dasar pemikiran paling dalam” yang memengaruhi diambilnya keputusan majelis MK, makan benarlah bahwa Indonesia memang sudah berada dalam gawat dalam berkonstitusi.
INILAH realitas berpolitik di negeri yang terpupuk oleh kesumat dendam kemenangan yang mengorban hak “indigenous” rakyat dalam berdemokrasi; sebuah perjuangan yang dialaskan pada antara lain agar demokrasi dapat dilakukan dengan murah, padahal sadar tak sadar sebenarnya telah menggerus bangunan demokrasi yang sudah dibangun Sembilan tahun terakhir.
Apakah Pilkada Langsung atau Pilkada oleh DPRD mampu menjamin terpilihnya kepala daerah yang memiliki kapasitas dan moral-integritas sesuai kepatutan sebagai panutan? Tak ada jaminan untuk itu, sebab hal itu akan sangat relevan buka dibebankan hanya kepada Pilkada Langsung atau Pilkada oleh DPRD. Lantas? Peran terbesar untuk memenuhi idealitas yang berkembang di benak rakyat sangat tergantung pada salah satu fungsi Parpol yang mengusungnya, yaitu bagaimana rekrutmen oleh parpol dilaksanakan sesuai dengan tuntutan kualitas kepemimpinan yang berintegritas dan teruji. Inilah demokrasi yang disajikan dalam ruang besar bernama Politik di Indonesia.
DI UJUNG JALAN POLITIK selalu "menunggu" jalan bersilang dengan rambu yang bebas diterjemahkan. Bayangkan jika tak ada "juru rambu" di sana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H