Silariang atau kawin lari merupakan salah satu bentuk perkawinan yang melanggar adat budaya masyarakat Bugis Makassar di Sulawesi Selatan. Kasus Silariang khususnya pelaku usia dini diyakini salah satu biang penyebab stunting di desa. Para pihak yang berpandangan seperti itu, sebagian di antaranya menyuarakan pendapatnya pada forum pertemuan formal desa. Misalnya pada momentum Sosialisasi Dampak Pernikahan Dini dan Rembuk Stunting Desa serta forum sejenis. Pendapat yang menuding stunting biang stunting tidak terbantahkan. Satu sisi, Â warga awam enggan membantah karena disampaikan oleh kalangan elit desa atau tokoh masyarakat yang berpengaruh di lokal desa hingga kecamatan. Sisi lain, mustahil mendapat dukungan atau pembelaan, sebab Silariang dicap sebagai prilaku melanggar norma hukum nasional, norma agama, serta norma adat budaya lokal. Dalam perspektif norma adat, prilaku Silariang mengebiri Siri', konsep nilai-nilai kehormatan, atau harga diri keluarga yang dijaga keluhurannya meski harus mengorbankan harta hingga nyawa.Â
Selaku penggiat pendampingan desa, penulis sesekali pernah berinteraksi dengan para pihak yang berpandangan demikian. Pendapat semacam itu mengemuka pada Sosialisasi Dampak Nikah Dini Desa Tuju. Juga pada Rembuk stunting Desa Maero dan Bangkalaloe kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan, untuk menyebut sebagian momentum dimaksud.
Argumentasi Biang StuntingÂ
Menarik untuk mendalami pernyataan para pihak yang menyudutkan pelaku Silariang. Penulis mencatat beberapa argumentasi yang mendasari pendapat para pihak tersebut.
Pertama, secara sosial stigma negatif melekat bagi pelaku Silariang sebagai warga desa yang mencoreng nama baik keluarga dan desa. Mereka nampak sebagai pihak apatis atau masa bodoh pada upaya baik pemerintah desa menangani stunting desa. Sehingga mustahil mengharap partisipasi aktif mereka, selaku bagian dari kelompok sasaran penurunan stunting di desa. Sangat absurd berpandangan mereka dapat berkontribusi pada penurunan angka stunting atau resiko stunting desa. Sebaliknya, usai Silariang, keberadaan sang pelaku akan hilang jejak bak ditelan bumi. Mengucilkan diri karena takut dan malu atau terusir dari desa yang terusik. Dalam kasus Silariang, "Hubungan terlarang" sepasang sejoli berujung bunting (hamil), menjadi salah satu faktor pemicu aksi Silariang.Â
Argumen Kedua, Silariang membawa konsekuensi bagi pelaku tidak mendapatkan manfaat edukasi dan informasi dari paket program stunting yang digalakkan pemerintah desa. Minimnya informasi dan pengetahuan kesehatan sangat riskan secara fisik dan psikis bagi kelompok sasaran penurunan stunting, termasuk pasangan silariang usia di bawah 19 tahun.Â
Ketiga, pada aspek komunikasi, pihak pelaksana dan penyedia layanan kesehatan kecamatan dan desa telah kehilangan akses komunikasi dengan pelaku silariang. Kondisi ini, sangat beresiko pada aspek monitoring kontrol perkembangan 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan) Â pelaku Silariang. Dimulai saat janin dalam kandungan (270 hari) hingga anak berusia 2 tahun (730 hari).
Dari sisi kuantitatif, angka kasus Silariang memang tidak banyak pada setiap desa. Namun prilaku silariang sudah pasti bertentangan dengan norma hukum nasional, agama dan  adat budaya. Soal penurunan angka stunting, bukan sebatas menghitung angka, tapi juga efektivitas program kepada kelompok sasaran, termasuk pasangan Silariang. Program mesti terkoordinasi, terintegrasi, dan holistik antar kementerian/Lembaga dengan Pemda hingga pemerintah desa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H