Mohon tunggu...
Irwan Surya Dhanny
Irwan Surya Dhanny Mohon Tunggu... -

Melawan arus agar tak bermuara di lautan || Pengajar di IAIN Raden Intan Lampung

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Citarum and The City

4 Mei 2011   08:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:05 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kita mengenal operasi penjumlahan sederhana dalam matematika, kita pasti akan sepakat apabila ada penjumlahan dua bilangan bernilai positif, maka akan menghasilkan bilangan positif. Begitu pula sebaliknya, jika ada dua bilangan yang bernilai negatif, maka penjumlahannya pun akan menghasilkan nilai negatif. Dan jika salah satunya positif dan yang lainnya negatif, maka hasilnya akan bergantung dari besarnya salah satu bilangan tersebut. Bisa positif atau negatif.

Berbicara tentang sungai dan kota, maka harus kita sepakati terlebih dahulu bahwa keduanya adalah 'bilangan' yang sama-sama bernilai positif. Namun, pada faktanya kita akan mendapati kenyataan bahwa apabila keduanya 'dijumlahkan', ternyata akan menghasilkan dua kemungkinan jawaban yang berbeda hasilnya, positif atau negatif. Dan ini tidak memenuhi kaidah matematika yang telah disepakati. Mengapa bisa?

Memang, persoalan ini bukanlah sekedar persoalan operasi matematika. Bahkan bisa dikatakan tidak ada hubungannya dengan matematika. Akan tetapi, setidaknya kita bisa mengambil pelajaran dan makna dari hukum matematika yang telah kita pelajari di atas; bahwa sesungguhnya dua nilai positif jika digabungkan seharusnya bernilai positif, bukan sebaliknya.

Kita tentu mengenal keakraban Kota Kairo dengan Sungai Nil, keserasian Sungai Thames dan Kota London, atau keromantisan kota air di Venesia, Italia. Itu adalah contoh-contoh gabungan dari dua nilai positif yang tidak melanggar 'kaidah matematika'. Karena menghasilkan nilai yang positif. Akan tetapi, mengapa Citarum dan Bandung nampak selalu 'bertengkar'? Bukankah 'hukum asal' keduanya 'bernilai positif'? Tapi mengapa jika 'dijumlahkan' menjadi 'negatif'? Dimanakah letak kesalahannya?

Mari kita sedikit menggeser sudut pandang kita. Sepertinya, kesalahan bukanlah terletak pada 'bilangan'nya. Tapi kemungkinan kesalahannya terletak pada orang-orang yang ternyata tidak paham bagaimana 'cara mengoperasikan kedua bilangan' tersebut. Atau, bisa jadi ketidaktepatan dalam memilih 'simbol matematika' yang seharusnya digunakan. Bahkan tidak menutup kemungkinan, kesalahan tersebut juga diperparah oleh anggapan sebagian masyarakat yang masih menilai bahwa kota dan (terutama) sungai adalah 'bilangan-bilangan' yang 'bernilai negatif'.

Mari kita telaah satu persatu. Bicara tentang 'pemilihan simbol matematika' tentu sangat berkaitan erat dengan arah kebijakan. Sejauh mana pemerintah setempat bisa membuat kebijakan yang tepat tentang persoalan sungai Citarum ini. Sementara, bicara tentang 'cara pengoperasian', ini berkaitan dengan pelaksanaan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan tersebut. Apakah sesuai atau tidak. Jika cara pengoperasiannya tidak benar, maka kita bisa memprediksi bahwa hasil yang akan diperoleh pasti tidak akan sesuai dengan yang diharapkan.

Sedangkan, apabila kita bicara tentang anggapan, maka kita akan bersentuhan dengan paradigma dari penduduk yang tinggal maupun yang berhubungan dengan sungai Citarum. Apakah penduduk masih beranggapan bahwa Citarum adalah 'bilangan bernilai negatif' yang harus dimusuhi, ataukah sebuah 'bilangan positif' yang harus diselamatkan?

Untuk tataran kebijakan, setidaknya pemerintah setempat boleh meniru kebijakan negara lain yang telah berhasil dalam mengelola sungainya seperti melakukan 3Re, yakni, revisi, relokasi dan rekreasi. Revisi kebijakan tentang penanganan sungai dari hulu ke hilir. Perketat juga pengawasan penggunaan alokasi dana yang dikucurkan. Karena bisa jadi, meski kebijakannya sudah baik, tapi dalam tataran pelaksanaannya amburadul. Relokasi pemukiman dan pabrik agar jauh dari kawasan DAS Citarum. Bila perlu sterilisasi. Karena, penyebab terbesar tercemarnya air dan pendangkalan sungai Citarum adalah dikarenakan sampah dan limbah yang dihasilkan oleh pabrik dan pemukiman. Dan yang terakhir (sebagai bonus) adalah rekreasi. Pemanfaatan aliran Sungai Citarum sebagai sarana rekreasi terpadu bisa dijadikan sebagai cara untuk menjaga kelestarian sungai Citarum. Tentu 3Re yang dipaparkan tersebut masih hanya sebatas 'simbol matematika'. Maka, setelah pemilihan simbol yang tepat, pemerintah dan masyarakat juga harus tahu bagaimana cara mengoperasikan simbol tersebut, agar diperoleh hasil akhir yang benar. Oleh karena itu, perlu penjabaran dan edukasi dalam tataran yang lebih riil.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun